Purwakarta,
kota yang menurut saya cukup strategis dan sudah pasti tak asing lagi ditelinga
orang banyak. Letaknya yang berada di antara kota Bandung dan Jakarta, membuat
orang yang melintasi kota ini akan rugi jika tak singgah terlebih dahulu. Tidak
hanya tempat wisata, kuliner, dan oleh-oleh semata, tapi ada juga tempat-tempat
bersejarah yang masih dijaga kelestariannya. Contohnya saja, Keresidenan kota
Purwakarta. Bangunan yang didirikan sekitar tahun 1902 ini meski berarsitektur
modern, tapi terlihat jelas jejak-jejak sejarah yang dimilikinya. Tempatnya
yang berada di pusat kota Purwakarta, membuat siapa saja dapat mengaksesnya.
Bangunan ini berada disebelah selatan dan menghadap Situ Buled. Sekarang Situ
Buleud pun sudah berubah wajahnya, air mancur didirikan ditengah Situ Buleud
dan diberi nama Air Mancur Taman Sri Baduga. Terdengar kabar jika air mancur
ini menjadi yang terbesar di Indonesia. Kalau begitu sudah tidak perlu repot-repot
lagi terbang ke Singapura. Belum lagi ada seni kerajinan keramik di Plered yang
memang sudah terkenal, untuk tempat wisata dan kuliner lainnya jika saya
jabarkan mungkin tak akan cukup sedikit.
Saya
sebagai orang yang begitu mengagumi tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah
(meski ga semua tempat harus saya datangi), tertarik dalam hal tersebut membuat
saya menyadari "Kita ga akan bisa hidup seperti sekarang ini, setelah apa
yang dilakukan para pejuang dulu".
Kota
saya memang kecil tak seperti kota kebanyakan, meski tak memiliki tempat-tempat
menakjubkan seperti pantai ataupun gunung. Itu semua tak membuat saya urung
untuk melihatnya, terlebih saya yang sangat menyukai alam. Saya ingat suatu
hari begitu melihat para pelancong (karena kebanyakan orang asing) yang sedang
bersepeda dengan pakaian lengkap mengelilingi kotaku, rasanya bahagia sekali,
karena saya juga penggemar bersepeda.
Hingga
suatu hari ketika ayahku mengajak jalan-jalan pagi mengitari desa-desa yang
belum pernah ku sambangi dengan bersepeda. Begitu banyak sawah yang membentang
luas saat aku bersepeda, belum lagi tanjakan yang terjal saat ku taiki dengan
sepeda, lelahnya minta ampun. Tapi semuanya terbayar sudah saat saya berada
diatas sana, pemandangan yang menakjubkan. Sela Awi namanya, desa yang masih
sangat hijau sekali, bahkan selama disana saya mendengar deru mobil tidak lebih
dari dua kali. Memang kebanyakan menggunakan sepeda motor, tapi ada juga
orang-orang tua yang masih menggunakan sepeda ontel untuk sekedar mengangkut
hasil kebun ataupun hanya rerumputan yang mungkin akan digunakan untuk akan
ternak. Desa yang saya lewati itu memiliki sawah yang luas dikedua belah
sisinya, ada bukit dibelakangnya dan masih ada sisa-sisa kabut yang menutupinya,
bahkan airnya pun masih sangat jernih, berbeda sekali dengan daerah yang aku
tinggali.
Udaranya
yang masih sejuk bahkan di waktu yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan
pagi, pantas saja. Saya pun betah berlama-lama diatas sana, belum lagi saat
turun jalanan yang tadi di daki dengan sepeda. Rasanya ..., saya bisa menghirup
semuanya saat sebelah tangan saya rentangkan.
Tak
jauh dari sana, ada desa yang bernama Citalang. Meski tak jauh berbeda, tapi di
desa ini sudah banyak dilalui kendaraan bermotor. Hingga saat ayah mengajak
saya untuk memasuki salah satu gang, dan menunjukkan sebuah bangunan lama yang
ada disana. Bangunan yang sangat terasa kental sekali zaman penjajahan,
sebenarnya bangunan ini milik pemerintah dan dijaga kelestariannya. Rumah
panggung yang berada ditengah sebidang tanah, dengan dua pilar kayu didepannya,
jendela dan pintunya yang tinggi, tapi ke semuanya bersih karena terawat. Saya
pikir "Ini satu-satunya cara kita untuk mengenang jasa para pahlawan dalam
bentuk nyata."
Ternyata
perjalanan belum berakhir, masih ada jalan yang harus kita tempuh untuk kembali
ke rumah. Saya sudah melakukan perjalanan ini dua kali, dan keduanya melalui
jalur berbeda saat kembali untuk pulang. Salah satu jalurnya bisa untuk singgah
ke desa-desa yang lain, dan jalur lainnya menembus ke pusat kota. Setelah itu
semua, saya harus kembali ke aktivitas normal lagi. Dengan polusi dimana-mana,
dan orang yang 'seenaknya sendiri'.
Jujur
saja, dari semua perjalanan yang saya lalui, saya bisa mengambil hikmahnya. Dari
itu semua saya bisa merasa dan baru menyadari jika diri saya hidup dengan kaya,
banyak rintangan dan jalan berliku yang harus saya lalui sebelum bisa melihat
akhirnya yang indah jika dilihat dari ''puncak''. Untuk semua kelestarian alam
yang ada, semua itu bisa berubah ke arah mana saja kita mau, sebagaimana kita
mau menjaganya atau tidak. Semuanya memang benar seperti kata pepatah,
"Kalau bukan kita siapa lagi".
* Cerita ini dibuat untuk mengikuti Couple Giveaway yang diadakan olen Nulis Buku Club IPB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar