Selasa, 30 Juni 2015

Bintang untuk Bintang

Cerita ini diikut sertakan dalam challange Over The Rain yang diselenggarakan oleh mbak Asri Tahir di Wattpad.

~Sinopsis~

     Dua orang yang sama-sama terluka karena sebuah rasa cinta, dipertemukan kembali oleh takdir yang tak terduga. Takdir yang selama ini dianggap selalu mempermainkan mereka.

     Tentang Bintang yang terluka, yang sedang mencoba membuka lembaran baru dihatinya dan mengukir cinta yang diharapkannya. Juga tetntang Friska, gadis yang terluka karena cinta pertamanya. Cinta yang membuatnya menutup hati dan mencoba menatanya kembali.








     Sepasang anak manusia berdiri dengan tatapan nanar ke pemandangan dihadapan mereka, sebuah masjid. Tidak banyak yang datang memang karena diadakan dengan sangat sederhana, tapi disanalah dua insan manusia yang sebelumnya berpisah dipersatukan kembali, tanpa tekanan dan tanpa paksaan.

     Bulan dan Reza. Sejauh apapun mereka terpisah, seterjal apapun jalan yang telah mereka lalui, pada akhirnya mereka tetap bersama. Karena mereka memang telah ditakdirkan bersama. Tapi tidak dengan dua orang yang sedang terluka ini, sekeras apapun mereka mencoba, pada akhirnya mereka hanyalah sebagai alat penguji dan pengukur kadar cinta dari pasangan pengantin tersebut.

     Bintang menoleh ke samping kanannya, disana berdiri seorang wanita yang tak ia ketahui namanya dengan pandangan yang kosong. 'Teman senasib,' begitulah batin Bintang. Sejenak Bintang berpikir, 'setelah semua usaha yang aku lakukan, tetap saja aku kehilangan orang yang sangat aku cintai, bahkan ini untuk yang kedua kalinya.' Bintang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut. Ia menoleh lagi menatap gadis itu dalam, dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celananya ia menghampiri gadis itu. Baru saja dua langkah, dilihatnya gadis itu berbalik dan masuk kedalam mobilnya, lalu pergi begitu saja. Bintang yang menyaksikan itu semua tersadar, 'untuk apa aku berlama-lama disini, toh aku sudah tak bisa melakukan apa pun lagi.' Semuanya telah usai, tapi belum dengan hatinya.

-----

     Friska mengambil cuti sementara untuk menenangkan diri. Sebenarnya agak sulit melihat kasus yang sedang ditangani Reza yang cenderung alot untuk dituntaskan dan juga persidangan yang akan segera digelar, tapi Reza berbaik hati memberikannya izin. Reza tahu apa yang sedang dialami Friska, ia harap waktu satu minggu yang diberikannya mampu menyelimuti luka yang dialaminya. Meskipun ia sadar tak akan mungkin bisa secepat itu, tapi untuk sementara, biarkan asistennya itu menenangkan dirinya terlebih dahulu.

-----

     Seorang gadis berjalan dengan langkah lunglai dibawah gelap langit sore itu, tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Suara petir yang menyalak pun tak ia pikirkan, wajahnya menengadah, tatapan matanya kosong, pikirannya berkelana jauh entah kemana.

Tes..

     Setetes air hujan jatuh tepat di pipinya yang putih mulus, ia tak bergeming sedikit pun. Ia melanjutkan langkahnya dengan biasa, tak ada niat untuk berlari ditengah hujan yang mulai menderas. Air hujan ini bahkan tak sebanding dengan luka hati yang dirasakannya, jika dengan hujan-hujanan begini ia bisa jatuh sakit dan melupakan sedikit beban dihati dan pikirannya untuk sementara, ia akan dengan senang hati melakukannya terus menerus.

     Bintang yang terjebak macet saat mengendarai mobilnya untuk pulang ke apartemennya, melihat pemandangan yang menakjubkan sore itu. Wanita yang sedang berjalan santai ditengah hujan deras dan suara petir yang menggelegar mengalihkan perhatiannya. 'Ckk, wanita yang aneh.' Sambil memicingkan matanya ia melihat dengan seksama. 'Tapi...tunggu, bukankah ia adalah wanita yang sudah dilihatnya tiga kali?, dan terakhir di depan masjid itu. Wanita sama yang mengejar cinta seorang suami dari orang yang dicintainya. Apa yang dia lakukan?'

     Bunyi klakson membuyarkan lamunan Bintang, ia melajukan mobilnya mengikuti kemana arah wanita itu melangkah. Dilihatnya ia berhenti dan masuk kedalam sebuah cafe, SHINNY DAY CAFE & RESTO. Saat ini rasa penasaran menghilangkan lelah yang begitu menderanya, mobilnya ia parkirkan begitu saja di pinggir jalan dan ikut masuk kedalam cafe itu. Matanya berkeliling, dan menemukan wanita itu di sudut cafe yang menghadap langsung ke jalan raya. Ia mengambil tempat yang cukup jauh darinya.

     Seraya memegang cangkir ~hot chocolate~ nya yang masih mengepul demi menghangatkan tubuhnya yang menggigil, tak ia alihkan sedikitpun pandangannya yang menerawang keluar sana. 'Cinta pertamaku harus kandas bahkan sebelum memulainya,' ia tertawa miris. Bahkan ia berpikir takdir sedang mempermainkannya, memberikan harapan ditengah kesempatan yang nyatanya hanya sebesar lubang jarum.

     Bintang yang merasa tergelitik, tetap memperhatikan wanita itu dari jauh dengan seksama. 'Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu?, berbeda sekali saat pertama kali dan saat di rumah sakit kami bertemu.' Bintang hanya merasa simpati padanya, tidak lebih. Semua karena ia merasa menjadi orang yang sama-sama terluka dan terpuruk, meski dalam konteks yang berbeda. Bagaimana pun juga, ia adalah orang yang merusak suatu hubungan, sedangkan wanita itu adalah orang yang hadir ditengah kemelut yang terjadi. Setetes air mata jatuh dari mata indah itu segera dihapus oleh sang pemiliknya.

     Bintang yang menyaksikan itu, merasa ada suatu dorongan yang entah dari mana datangnya, membuat ia melangkahkan kaki dan duduk tepat dihadapan wanita itu. Ia berdehem, berusaha mengalihkan perhatian wanita dihadapannya. Tapi nihil, wanita itu tetap bermain di dunianya sendiri. Hanya ada satu cara untuk mengalihkannya. Bintang menarik cangkir yang sedang digenggam wanita itu...dan berhasil, wanita itu menoleh dan mengernyit bingung pada orang dihadapannya yang tak ia kenal sama sekali.

  "Hai, gue Bintang" seraya mengulurkan tangan tapi tak ditanggapinya, yang ada wanita itu kembali menoleh keluar kaca.

  "Lo yang waktu itu di rumah sakit dua minggu lalu kan?, yang bareng...Reza" wanita itu menoleh dengan dua alis mata yang terangkat.

     Jangankan mendapat tanggapan, yang ada Bintang ditinggalkan begitu saja disana. Dengan langkah tergesa Friska keluar setelah membayar minumannya yang belum diminum sama sekali olehnya. 'Apa sih maunya itu orang?, gue kesini buat ngilangin pak Reza dari pikiran gue. Ini, datang-datang malah ngungkit hal yang lagi gue hindari.' Kini Bintang yang terkejut segera menyusulnya, dan melihat wanita itu tengah menaiki taksi. 'Gue kan cuma mau kenalan aja, emangnya ada yang aneh?. Eh gue emang aneh sih, tapi bukannya itu orang biasanya bawa mobil sendiri.' Bintang tersenyum samar seraya mengedikkan bahunya, lalu berbalik menuju mobil dan pulang ke apartemennya.

-----

     Waktu cuti yang dimiliki Friska, ia habiskan hanya dengan melamun. Bagaimana pun juga, saat ini yang ia butuhkan hanya waktu untuk menata hatinya, sepahit apa pun yang terjadi. Ia berusaha keras mengalihkan pikirannya dari Reza, tapi cuma satu yang bisa ia lakukan saat ini. Memasak. Meski tak semahir Bulan, tapi ia biasa melakukan untuk dirinya sendiri. Dari masakan yang gosong, terlalu asin, hasilnya yang jauh dari kata layak makan hingga jarinya yang teriris pisau, semuanya berakhir mengenaskan. Pada akhirnya Friska menangis pilu, bukan karena itu semua, tapi terlebih untuk meluapkan rasa sesak di dadanya.

     Bintang yang kini berada di SHINNY DAY CAFE & RESTO, duduk melamun seorang diri. Sejak hari itu, ia tak pernah bertemu kembali dengan wanita itu. Setiap ada kesempatan ia bertemu dengan klien, ia usahakan agar bisa bertemu di tempat ini. Bahkan saat pulang kerja, ia selalu menyempatkan diri untuk sekedar duduk dan minum kopi kesukaannya disini. Berharap jika rasa penasarannya dapat terungkap.

-----

     Friska melangkahkan kakinya masuk ke kantor yang selama ini mempekerjakannya. Dengan senyum menawan, ia menyapa rekan-rekan yang ditemuinya. Berusaha bersikap ceria seperti biasanya, meski sulit sekali. Bahkan saat bertemu Reza sekali pun, seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Tapi satu yang tidak mereka semua ketahui, Friska kini sedang memakai topeng. Ini satu-satunya cara ia bertahan, demi melihat orang yang ia cintai setiap harinya. Bodoh, walau ia tahu semua itu hanya semakin membuatnya terluka lebih dalam lagi. Tapi ia juga ingin membuktikan, jika ia masih bisa bertahan dan menyembuhkan lukanya.

     Siang ini Bintang sedang menemui klien perusahaan di SHINNY DAY CAFE & RESTO, seorang wanita muda dan mempesona duduk dihadapannya dengan menggoda. Tapi baginya itu biasa saja. Dilubuk hatinya yang terdalam masih ada wanita itu, wanita yang sejak lama ia cintai. Bulan. 'Ahh... Susah sekali melupakannya,' ia selalu merasa jika Bulan dan Bintang itu selalu ditakdirkan bersama dan tak terpisahkan. Tapi sekuat tenaga pula ia berusaha menghapus jejak dan akar-akarnya disana, dihatinya. Sebuah bunyi lonceng di pintu masuk mengalihkan perhatiannya, wanita itu, wanita yang sama yang ia temui beberapa minggu lalu saat hujan sore hari. Masuk bersama beberapa rekan kerja wanita dan duduk tak jauh darinya. Meski tak begitu jelas, tapi sayup-sayup obrolan mereka masih terdengar. Bintang masih memperhatikannya, wanita itu tersenyum dan tertawa renyah ditengah obrolan yang hangat siang ini. Sekuat apa wanita itu menyembunyikannya, Bintang tahu dan mampu melihatnya. Mata indahnya itu terasa hampa dan terluka, bahkan dia lebih banyak diam.

  "Fris... Friska, kamu kenapa sih? Dari tadi kok diem aja" tanya salah satu rekan Friska, Anya. Tapi Friska hanya menggelengkan kepalanya malas.

'Ooh, jadi Friska namanya.'

  "Oh iya, kemaren kamu cuti ngapain aja?" Tanya rekan Friska lainnya, Bella

  "Mau tau aja, apa mau tau banget?" Jawab Friska menghilangkan ketegangan yang ada, mereka kembali tertawa renyah. Bintang hanya tersenyum melihatnya

'Manis... Isshh apa sih yang gue pikirin.' Bintang menggelengkan kepalanya.

     Bintang masih membicarakan hal penting dengan kliennya, tapi sesekali Bintang masih melirikkan matanya ke arah Friska.

-----

     Kini, tak jarang Bintang lebih sering makan siang di cafe ini yang membutuhkan waktu 15 menit dari kantornya berada. Bintang juga heran dengan dirinya sendiri, ia hanya merasa memiliki nasib yang sama dan hati yang terluka. Jika dulu ia sebagai pria nekat merebut Bulan yang telah berkeluarga, tapi hal nekat apa yang mungkin dilakukan oleh seorang wanita? Merebut kembali? Tidak mungkin. Jika dulu mereka goyah karena tak ada cinta dari salah satunya, tidak dengan sekarang. Mereka bahkan sudah sangat saling mencintai. Bahkan, siang dan sore yang dulu Bintang benci, karena diwaktu luang tersebut ia akan memikirkan Bulan kembali. Tidak dengan kini, siang dan sore menjadi waktu yang ditunggu untuk menuntaskan rasa penasarannya.

     Mereka bahkan sering berpapasan, walau hanya Bintang yang sering menyadarinya, karena Friska lebih banyak menunduk atau pandangan lurus ke depan tapi pikirannya tidak sedang bersamanya. Kadang Friska makan siang sendiri, sama seperti saat sore hari ketika ia sedang melamun. Tak banyak ekspresi yang dapat Bintang baca, hanya wajah dengan raut sedih, kecewa, terluka, hampa dan rasa tak memiliki siapa-siapa yang dimiliki gadis itu. Entah kenapa ia merasa ingin melindungi dan menjaganya, membuatnya kembali ceria dan tersenyum sempurna, membuat mata indahnya itu bercahaya.

     Minuman favorit Friska bahkan sudah dihapal oleh Bintang, ~hot chocolate~ dan ~capucinno ice~. ~Hot chocolate~ untuk menghangatkan hati dan ~capucinno ice~ untuk mendinginkan pikiran, begitulah pikir Bintang.

     Tak ada yang berubah dan aneh dari tiga bulan pantauannya ini. Hingga suatu hari datang seorang pria paruh baya menghampiri Friska. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Bintang melihat Friska begitu emosi pada pria itu dan meninggalkannya begitu saja. Tak hanya sekali, beberapa hari kemudian Bintang melihat pria paruh baya itu sedang berbicara dengan Friska sekeluarnya gadis itu dari cafe. Bintang hanya diam melihat dikejauhan, hingga sebuah tamparan mendarat dipipi mulus Friska yang mengagetkannya. Bintang berlari menghampiri mereka dan memegang kedua bahu Friska yang sedang menutupi pipinya yang baru saja ditampar.

  "Siapa anda? Jangan berani-beraninya ikut campur urusan orang lain" bentak pria itu

  "Maaf, tapi saya kekasihnya. Jadi saya berhak tahu apa yang terjadi dan melindunginya" jawab Bintang tegas yang membuat wajah Friska yang menunduk menengadah ke arahnya dan kedua bola matanya membulat sempurna.

  "Permisi" Bintang beranjak pergi masih dengan kedua tangannya yang menyentuh bahu Friska dan menuntunnya menuju mobil miliknya dan berlalu dari sana.

-----

    Sepanjang perjalanan itu hanya kesunyian yang mendera, Friska lebih sibuk memperhatikan hiruk pikuk pemandangan di luar jendela, dan Bintang yang sesekali memperhatikan gadis itu.
Bintang yang bingung akan kemana, menanyakan pada Friska, karena sangat tidak mungkin membawa seorang wanita kedalam apartemennya.

  "Rumah kamu dimana Fris?"

  "Hm, tolong turunkan saya di pertigaan jalan sana" tunjuk Friska ke depan

  "Aku tanya rumah kamu, bukan mau turun dimana" Bintang mempertegas pertanyaannya

  "Iya, tolong turunkan saja saya disana" Friska yang masih teguh dengan jawabannya membuat Bintang mendesah kecewa. Ia hanya ingin mengantarkannya dengan selamat, itu saja.

     Friska yang kembali melamun tak menyadari jika pertigaan yang ditunjuknya sudah terlewat jauh. Bintang ingin membawa Friska ke suatu tempat yang mungkin bisa menghiburnya.

  "Ayo turun"

  "Hah... Dimana ini?" Friska terkejut melihat sekitarnya, sebuah bukit.

  "Untuk apa kesini? Bukankah saya bilang tolong turunkan saya di pertigaan jalan?" Friska tetap tak menyerah dengan pendiriannya.

  "Duduklah" perintah Bintang seraya menarik Friska untuk duduk disebuah bangku taman berwarna putih di bawah pohon Akasia yang menghadap ke arak kota Jakarta yang langitnya mulai senja dan bangunanya terlihat sangat kecil dari sini. Friska menurut, ia duduk dan diam tak ada suara.

  "Tolong tunggu sebentar dan jangan kemana-mana" pinta Bintang sekali lagi, Friska hanya mengangguk lemah dan dengan tatapan sendunya memandangi kota Jakarta yang sebentar lagi gulap gulita.

     Bintang berlari ke arah kanannya dan menghilang dibelokan jalan yang menurun. 10 menit berlalu dan Bintang baru kembali, kemudian duduk disisi kirinya. Ia membungkus sesuatu dan menempelkannya pada pipi kiri Friska yang memerah. Friska yang terkejut menjerit pelan, menahan rasa sakit dan panas bekas tamparan yang terkena dinginnya es. Bintang sedang mengompresnya.

  "Biar saya saja" Friska berusaha merebut es batu yang dibalut handuk itu dari genggaman Bintang. Awalnya Bintang menolak, tapi melihat wajah melas Friska, ia memberikannya.

  "Terimakasih" Friska tersenyum tipis yang dibalas dengan anggukan dan senyum lembut Bintang. Friska kembali menatap pemandangan dihadapannya, sang mentari sedang melambaikan tangannya untuk hari ini yang terasa sangat berat untuknya di ufuk barat sana.

  "Sudah lebih baik?"

  "Ya, terimakasih"

Hening

  "Mengapa anda begitu bermurah hati kepada saya yang tak anda kenal sekalipun?"

  "Apa menolong seseorang itu butuh alasan? Lagi pula aku kenal kamu kok ... Friska" jawaban itu membuat Friska menoleh.

  "Anda tahu nama saya, dari mana?"

  "Iya...apa tidak boleh?" Jawab Bintang sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tanda ia sedang gugup. Friska hanya menggeleng lemah.

  "Ternyata masih ada yang ingat dengan saya" ujar Friska lirih

Bintang terdiam

  "Aku Bintang, apa kamu ingat aku?" Tangan kanan Bintang terulur, sedangkan telunjuk tangan kirinya menunjuk wajah Bintang yang sedang tersenyum tipis. Membuat Friska menoleh dan menelisik lebih jauh, membuatnya mengingat-ingat.

  "Rumah sakit? Di depan ICU? 4 bulan lalu? Masih tidak ingat?" Bintang meringis pelan, malu jika sampai Friska lupa.

  ".....ooh, selingkuhannya mba Bulan?" Friska terkejut dengan jawabannya sendiri, membuat ia menutup mulut dan mau tak mau menundukkan wajahnya.

  "Ma...af" lanjutnya lagi

  "Tak apa, kamu memang tidak salah. Terkadang sesuatu yang buruk lebih mudah diingat bukan?" Bintang tersenyum miris, Friska mengangguk lemah.

Hening

  "Rumah kamu dimana? Biar aku antarkan, sebentar lagi malam"

  "Tidak usah, terimakasih sudah menolong saya, saya tidak ingin merepotkan anda lagi. Jika bisa, tolong antarkan saja saya ke cafe tadi, saya tidak ingin mempunyai hutang dengan orang yang baru saja saya kenal"

  "Aku tak merasa direpotkan, hutang? Apa menolong orang dengan tulus juga disebut hutang?"

  "Tapi maaf, menurut saya itu tetap saja hutang."

  " Hutang? Baiklah, kamu punya sebuah hutang kepada ku. Bisa aku memintanya sekarang?" Friska berpikir sejenak

  "Tenang saja, bukan bayaran yang sulit, bahkan mudah sekali? Hem?" Friska mengangguk

  "Baiklah, apa yang bisa saya bayar untuk hutang saya kepada anda?" Bintang terkekeh pelan

  "Ok, mudah ko. Maukah kamu menjadi temanku? Tidak sulit bukan?"

  "Teman?"

  "Iya teman, kamu keberatan berteman dengan saya?" Friska terdiam

  "Apa karena aku sudah melakukan sebuah kesalahan dan dosa besar?" Jawab Bintang lemah sambil menerawang

  "Bu..bu..bukan, bukan begitu. Hanya saja..."

  "Nah baiklah, itu sudah cukup. Sekarang kita berteman" Bintang tersenyum hangat dan menjabat tangan kanan Friska

  "Bintang Lazuardi, senang berkenalan dengan anda"

  "Friska, senang juga berkenalan dengan anda" Friska menjawab kikuk

  "Oh iya, satu lagi. Bisa kan panggilannya tidak usah pakai saya-anda lagi, terlalu formal. Pakai aku-kamu saja, atau panggil langsung saja Bintang, ok?"

  "Oh...baiklah... Bintang"

  "Nah itu lebih enak didengar. Ayo, sebentar lagi malam"

     Mereka jalan beriringan memecah keheningan malam yang sebentar lagi akan menggantung sempurna diatas sana. Membelah kesunyian hanya dengan sebuah tali, pertemanan.

-----

     Sejak saat itu mereka jadi lebih sering bertemu, lebih mengenal satu sama lain. Pertemanan yang semakin erat, yang saling melengkapi satu sama lain. Tapi belum ada diantara keduanya yang berniat untuk membuka luka lama. Semua masih terasa sulit dan berat, terlalu takut untuk menghadapinya.


     Hingga disuatu sore berbulan-bulan kemudian, saat hujan lebat mengguyur Jakarta, meluncurlah pertanyaan itu dari bibir manis Friska.

  "Bintang, waktu itu apa yang membuat kamu nekat untuk merebut kembali mbak Bulan dari sisi pak Reza dan juga Bumi?" Bintang menelan ludahnya sesaat

  "Kamu yakin mau mendengarnya?" Friska mengangguk

  "Baiklah. Sebenarnya kami adalah sepasang sahabat, jauh saat dulu kami masih sekolah. Aku kembali setelah beberapa tahun pergi dengan tiba-tiba dan tanpa pesan meninggalkan Bulan begitu saja. Aku baru tahu jika Bulan sudah menikah dan memiliki seorang anak, yang ada dipikiranku saat itu setelah tahu jika Bulan pun memiliki perasaan yang sama adalah aku akan melakukan apapun untuk memperjuangkan cintaku padanya, terlepas jika aku harus menjadi ayah Bumi. Aku siap, sangat siap. Karena dalam diri Bumi terdapat bagian Bulan. Aku mencintainya, sangat sangat mencintainya. Hingga aku kehilangan akal sehatku, aku pikir jika Bulan mengandung anakku, aku akan bisa memiliki Bulan seutuhnya. Tapi aku salah, itu malah memunculkan rasa cinta Bulan pada Reza yang tertutupi dan tak disadarinya selama ini. Wajar saja jika rasa itu ada, mereka bersama bukan sebulan dua bulan, mereka sudah lima tahun bersama. Saat itu keegoisanku sangat besar, begitu berani melakukan itu semua yang malah membuat Bulan sangat tersiksa. Harus dipisahkan dengan anak yang dilahirkan dan dicintainya, kehilangan suami yang benar-benar sempurna dan mencintainya, juga mengandung saat beban pikiran menggunung. Hingga aku melihat dia terbaring lemah tak sadarkan diri di ICU sebelum melahirkan anak keduanya, rasanya saat itu dunia seakan mau berhenti. Melihat orang yang dicintai berjuang antara hidup dan mati, aku ga sanggup. Percuma jika karena cintaku akhirnya dia tiada, yang kehilangan dia bukan aku saja. Tapi juga Bumi, Rayya dan juga Reza. Biarlah, dengan begini hanya aku saja yang terluka, meski semuanya sudah sangat terlambat." Friska menutup mulutnya tak percaya

  "Kamu juga tahu jika persahabatan dengan lawan jenis itu tak pernah ada murni? Pada akhirnya semua melibatkan hati. Tapi semuanya sudah berlalu, aku mencoba ikhlas merelakan semuanya. Dari sana aku mengerti jika cinta itu tak bisa dipaksakan dan tak -selalu- bisa saling memiliki." Friska mengelus pelan tangan Bintang

  "Kalo kamu Fris?" Tanya Bintang, Friska menerawang jauh ke awal pertemuannya dengan Reza

  "Awalnya aku hanya sebatas kagum padanya, tanpa tahu jika dia sudah menikah. Orang yang sangat kompeten dalam pekerjaannya, perlahan rasa itu tumbuh. Rasa ingin disayangi, dicintai, dimengerti, rasa yang sudah lama sekali tak pernah aku rasakan. Hingga aku tahu jika dia telah menikah, tapi tak lama setelah itu aku mendengar ia bercerai, yang lebih mengejutkan ternyata mereka memiliki seorang anak, yaitu Bumi. Aku merasa kasihan padanya, melihat dirinya seperti melihat cerminan diriku dimasa lalu. Aku ingin ia tak merasakan apa yang aku rasakan, betapa terlukanya menjadi korban atas keegoisan kedua orang tuanya. Kehilangan kasih sayang dan merasa dicampakkan."

  "Udah Fris, ga usah dipaksain" Bintang mengelus bahu Friska, menghapus air matanya dan menyenderkan kepala Friska dibahunya.

  "Ga apa-apa Bintang, aku pengen nyoba melepas semua beban ini. Berat sekali rasanya, aku pengen berbagi sama kamu, berharap setidaknya terasa lebih ringan dipikulnya." Bintang masih terus memeluk Friska dan mengelus rambutnya, mencoba menenangkannya yang sedang menangis pilu.

  "Kamu tau Bintang, pertama kita bisa dekat seperti ini. Saat itu kamu menolongku yang ditampar oleh seorang pria? Hem" Bintang mengangguk

  "Itu ayahku" Bintang terkejut mendengarnya, bisa-bisanya ada seorang ayah yang tega menampar anaknya sendiri

  "Setelah sekian lama meninggalkan aku, ia datang untuk meminta tolong yang menurutku sangat tidak masuk di akal. Kamu tahu itu apa? Dia meminta aku untuk menikah dengan anak salah satu rekan bisnisnya." Bintang yang mendengarnya menegang dan kaku

  "Tentu saja aku menolaknya Bintang." Friska terkekeh pelan

  "Terlepas dari siapapun orang itu, aku akan tetap menolaknya. Ternyata dia adalah Airlangga Abimanyu, anak dari Setya Abimanyu pemilik perusahaan tempat kamu bekerja" sangat terkejut Bintang mendengarnya

  "Aku bilang, selama ini ayah kemana? Meninggalkan aku setelah sekian lama berpisah dengan ibu, sekarang ayah datang memaksaku untuk menikah dengan orang yang ayah bangga-banggakan hanya demi kepentingan bisnis ayah semata. Saat itulah ayah menampar pipiku karena membantah titahnya." Bintang menghela napas berat

  "Tapi sekarang aku bersyukur, karena tamparan ayah saat itu membuatku memiliki seorang sahabat sepertimu. Sahabat yang baik dan mengerti aku, yang mau menerima aku apa adanya" Friska menghapus air matanya dan kembali duduk tegak, tapi Bintang membalikan badannya sehingga kini mereka berhadapan.

  "Kamu tahu..." Bintang menghapus sisa-sisa air mata dipipi Friska dan menyelipkan beberapa surai rambut yang menghalangi wajahnya yang cantik ke telinganya.

  "Sebenarnya yang sangat beruntung bisa bersahabat dengan kamu itu aku. Kamu mau bersahabat denganku setelah perbuatan tercela ya..." Friska menutup bibir Bintang dengan telunjuknya seraya menggeleng pelan.

  "Ga ada yang perlu diungkit-ungkit lagi. Apa kamu sadar? Berawal dari sanalah kita bisa seperti sekarang ini. Kamu yang begitu perhatian padaku, memberikan perhatian lebih pada seorang gadis yang sedang terpuruk, padahal saat itu kamu pun merasakan hal yang sama." Friska tersenyum manis sekali, Bintang yang merasa tersentuh sekali mendengarnya memeluk Friska erat, sangat erat seperti tak ingin melepaskannya lagi.

  "Bintang...Bin..tang" Friska menepuk-nepuk punggung Bintang

  "Hmm, kenapa Fris?"

  "I..ni..ter..la..lu..ken...cang..Bi...in..tang"

 "Oops...sorry" Bintang melepaskan pelukannya dan terkekeh pelan yang dihadiahi tinjuan kecil dilengan atasnya oleh Friska yang ikut tertawa pelan

'Friska... Friska, kamu itu baik, apalagi kalau tersenyum seperti ini, manis sekali. Semoga kamu bisa terus seperti ini, terus tersenyum. Semoga kamu tak terbebani jika suatu saat ada rasa lain yang tumbuh dalam hubungan persahabatan kita ini. Aku tidak ingin melihat air mata wanita yang aku sayangi jatuh, terlebih jika itu karena aku. Oh Tuhan... Aku benar-benar ingin melindunginya, benar-benar ingin.' Bintang menggeleng pelan dan mengelus rambut Friska yang berada dihadapannya

  "Oh iya Bintang"

  "Hmm"

  "Apa Sabtu nanti kamu ada acara? Sebenarnya...sebenarnya" Friska tiba-tiba gugup

  "Sebenarnya kenapa Fris?" Seru Bintang penasaran

  "Hari Sabtu, Rayya anaknya Reza ulang tahun yang pertama. Mereka akan merayakan di rumahnya sendiri, semua rekan kantor diundangnya. Mungkin Reza ingin menebus kejadian yang hampir dua tahun lalu, karena mengabaikannya. Aku sendiri sebenarnya ingin datang, tapi aku tak ada teman. Apakah kamu mau menemaniku?" Bintang tahu hal itu, tapi ia tak mungkin datang mengingat janji yang telah diucapkannya dulu. Ia tak ingin merusak kebahagiaan mereka yang baru terbentuk kembali, meski sebenarnya perasaan Bintang pada Bulan tak sebesar dulu. Sebenarnya, pada hari itu Bintang ingin mengajak Friska datang ke acara pembukaan cafe yang dimiliki teman Bintang malam harinya.

  "Maaf, Fris..."

  "Apa kamu masih takut Bintang?"

  "Bukan..bukan seperti itu. Sebenarnya hari Sabtu nanti aku juga ingin mengajakmu pergi"

  "Pergi???"

  "Hmm"

  "Pergi kemana? Mengapa kau mendadak memberitahukannya?"

  "Maaf, sebenarnya aku hanya ingin memberikan kejutan saja. Sabtu malam nanti, salah satu sahabatku baru membuka cafe-nya di daerah Kemang. Aku ingin kamu menemaniku kesana, sekalian aku ingin memperkenalkan kamu pada mereka"

  "Ya ampun Bintang, hal sepenting itu kamu tidak memberi tahuku? Pake acara kejutan-kejutan segala." Friska mencubit perut Bintang kesal

  "Aww... Fris, sakit. Cubitanmu itu seperti digigit semut raksasa tahu. Bagaimana, bisa tidak?" Suara Bintang terdengar memelas

  "Hmm...hmm, baiklah. Aku sore udah sampe rumah kok, kamu jemput jam berapa?"

  "Jam tujuh-an deh, bisa kan? Ga usah pake dandan-dandan segala, nanti yang ada temen-temen aku terpesona sama kamu lagi" goda Bintang membuat pipi Friska bersemu merah

  "Ah Bintang, kamu itu gombal ya" Friska menutupi pipinya yang sudah seperti tomat

  "Iya aku bisa, lagian wajar kan kalo aku dandan. Aku kan perempuan, emangnya kamu ga mau punya temen cantik, maunya yang jelek aja gitu"

  "Bukan gitu, rasanya sayang kan" Bintang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal

  "Sayang gimana, ya udah nanti aku pake kostum badut aja, biar kamu malu sekalian"

  "Ya ga gitu juga kali Fris, sayang kan kalo muka kamu yang manis itu dibagi-bagi ketemen aku, nanti yang ada mereka diabetes lagi. Mending buat aku aja yahh?" Goda Bintang lagi. Kali ini Friska mencubit-cubit Bintang lebih keras lagi

  "Aaw... Aww..aw sakit Friska"

  "Ya udah, kita balik aja"

-----

     Friska sudah rapi sejak setengah jam yang lalu. 'Tapi kemana Bintang, dia bilang jangan ngaret, sekarang... Dia kan yang ngaret juga.' Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. 'Nah, tuh dia orangnya.' Friska berdecak kesal pada Bintang yang menghampirinya sambil meringis.

  "Kamu kemana aja sih? Bilangnya jam tujuh, sekarang jam berapa?"

  "Iya, maaf...maaf"

  "Kan ga enak sama temen kamunya"

  "Eitss, kalo soal itu gampang. Coba aja kalo dia berani, biar aku pecat jadi temen aku" Bintang membela diri

  "Udah ayo, kalo kayak gini makin lama sampenya" Friska mengingatkannya kembali

     Jalanan saat ini lumayan macet, karena sekarang malam Minggu.

  "Gimana tadi acaranya?"

  "Rame kok, keluarga kecil Reza kelihatan bahagia banget"

  "Syukurlah kalo begitu" Friska mengelus lengan kiri Bintang

     Sampai disana, ternyata cafe & resto tersebut bernama MY STAR. Bintang diberi tempat khusus didepan stage bersama teman-temannya yang lain. Hanya saja mereka tak duduk satu meja bersama, satu meja hanya untuk dua orang, dan itu untuk pasangan atau teman yang dibawa dalam menghadiri acara ini. Setelah mengenalkan Friska pada teman-temannya, mereka duduk dikursi khusus tersebut. Panggung yang tak terlalu tinggi ada didepannya, ada sebuah piano yang dipajang disebelah kiri panggung dan sepasang gitar di sisi lainnya. Dekorasi yang sederhana, dengan lantainya berupa kayu berwarna coklat tua. Tak terlalu mewah tapi terkesan hangat dan terbuka.

     Sebenarnya cafe ini milik Bintang yang bekerja sama dengan Revan, rekan kerjanya. Idenya tercetus setelah Bintang dan Friska bersahabat, ia ingin Friska yang senang berada di cafe, merasa nyaman dengan cafe ini dan tak merasa sendirian lagi. Ia juga ingin agar cafe ini bisa menjadi rumah kedua untuk Friska.

     Acara pembukaan telah dilakukan 15 menit yang lalu, kini mereka sedang menikmati makan malam bersama sambil diiringi alunan lagu dari penyanyi cafe disini. Bintang pamit pada Friska, karena ada telpon penting. Warna lampu yang bersemu orange, membuat tempat ini tak terlalu terang. Hanya saja lampu utama disediakan di atas panggung, untuk penyanyi yang mengiringi mereka.

Cek...cek 123

     Tiba-tiba terdengar suara yang sangat familiar ditelinga Friska, Bintang. Membuat Friska menoleh ke atas panggung, dan terkejut melihat Bintang sedang berdiri di atas sana.

  "Selamat malam semuanya, semoga kalian semua menikmati hidangannya malam ini" Bintang tersenyum hangat

  "Saya ingin menyanyikan lagu untuk seseorang disini, seseorang yang tengah menyembuhkan lukanya. Seseorang yang begitu tegar menjalani ini semua, setelah apa yang ia lalui selama ini. Selamat menikmati"

     Suara gitar dipetik oleh Bintang yang duduk di atas panggung, memenuhi ruangan itu. Suara merdunya mulai mengalun indah mengisi malam ini, tapi matanya tak henti-hentinya ia alihkan dari Friska.


When you try your best, but you don't succeed

When you get what you want, but not what you need

When you feel so tired, but you can't sleep

Stuck in reverse


When the tears come streaming down your face

When you lose something you can't replace

When you love someone, but it goes to waste

Could it be worse?


Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you


High up above or down below

When you too in love to let it go

But you never try you will never know

Just what your worth


Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you


Tears stream down your face

When you lose something you cannot replace

Tears stream down on your face

And I..


Tears stream down your face

I promise you I will learn from my mistakes

Tears stream down on your face

And I..


Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you


     Friska begitu terharu mendengarnya, lagu yang membuatnya menyadari jika Bintang akan selalu menemaninya sampai kapan pun itu.

     Bintang berdiri dari kursinya diiringi tepuk tangan riuh yang menggema di cafe ini. 'Ternyata suaraku ga jelek-jelek banget', ia terkekeh geli. Friska bahkan sampai berdiri dari kursinya untuk memberikan tepuk tangan pada Bintang.

  "Lagu tersebut saya persembahkan untuk MY BELOVED BESTFRIEND FOREVER, Friska"

     Bintang turun dan menghampiri Friska yang menutupi mulutnya dengan kedua tangannya sambil berdiri menangis terharu dihadapannya ini. Tangannya terulur menghapus air mata itu, tapi Friska malah menghempaskannya dan langsung memeluk Bintang erat.

  "Jangan menangis Friska, nanti mereka semua yang disini menjerit histeris melihat wajahmu yang berubah menjadi zombie" Bintang terkekeh geli dengan ucapannya sendiri, Friska malah semakin mengeratkan pelukannya yang dibalas Bintang

  "Kamu jahat"

  "Jahat? Jahat kenapa?" Bintang mengernyit bingung

  "Kamu bikin kejutan buat aku lagi, hiks..hiks" Bintang mengelus rambut dan punggung Friska lembut

  "Tapi kamu suka kan sama lagunya?"

  "Iya, suka bangeeet hiks. Makasih Bintang" Bintang terkekeh pelan disamping telinga Friska


'Aku akan selalu disini Friska, disini. Sama seperti saat ini, saat kau memelukku erat. Aku harap kamu tidak akan pernah terluka lagi. Aku berjanji Friska, aku berjanji akan selalu menjagamu dan melindungimu bintang-ku. Maukah kau menjadi bintangku? Bintang yang selalu setia menerangi sisi tergelapku sekalipun. Entah kapan aku dapat mengatakannya, meski cintaku belum sebesar seperti saat bersama Bulan dulu. Tapi kau tenang saja, saat ini rasa cintaku padamu lebih besar daripada rasa cintaku kepada diriku sendiri. Meski masih ada setitik rasa pada Bulan dihatiku, tapi itu juga tak lebih besar dari rasaku untukmu. Aku akan menjaganya dengan sabar dan penuh kehati-hatian, agar rasa ini tumbuh lebih besar lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar