Rabu, 18 Februari 2015

Friend or Foe ( Giveaway Kalimat Pertama )

     Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Sebelumnya aku ragu untuk mengangkatnya, karena begitu sering aku menerima telepon usil. Lagi pula siapa yang menelepon sepagi ini dihari libur, menyebalkan. Tapi deringannya tak kunjung henti dan itu sangat menggangguku, dengan sangat terpaksa aku mengangkatnya.
  "Hallo."
suara ber-kharisma menggema disebrang sana, suara yang sangat tak asing sekali bagiku.
  "Ha .. lloo ...," jawabku terbata.
Saat kuyakini jika orang itu memang aku kenal.
  "Aku Reza, maaf sebelumnya. Aku dapat nomer kamu dari Doni," jelasnya.
  "Ooh iya, ga apa-apa kok."
Aku senang bukan main, orang yang selama satu tahun ini diam-diam aku sukai menghubungiku.
  "Ada apa ya?," tanyaku gugup.
  "Oh iya, bisa kita ketemuan?, ada yang perlu aku omongin tapi ga bisa ditelpon. Kalo kamu bisa, kita ketemuan di cafe deket sekolah, gimana?"
Hening .....
  "Mel ...?"
  "Ah iyaa, kapan?"
  "Sekarang, bisa?"
  "Bisa, aku kesana sekarang ya"
  "Ok, thanks ya"

Aku tutup telpon itu, aku lihat jam yang baru saja menunjukkan pukul delapan pagi, bahkan mentari pun masih bersembunyi dibalik selimut awan mendung pagi ini. 

***

     Aku yang biasanya berpenampilan seperti anak laki-laki, kini memakai dress selutut warna broken white dengan bunga-bunga kecil warna ungu dan soft pink. Aku mematut diriku dicermin, setelah dirasa cukup, aku pergi ke Shiny Day Cafe didekat sekolah.

     Hujan baru saja reda, ku susuri jalanan pagi itu dengan langkah kaki riang, seolah semua yang aku lewati tersenyum kepadaku. 
"Dunia macam apa ini?." Gumamku seraya menggelengkan kepala.
"Semua berubah, bahkan dunia pun berubah hanya karena cinta." Batinku seraya mempercepat langkah kaki.

     Setibanya disana, aku belum melihat sosok yang tadi memintaku datang. Aku duduk dan meminum Capucinno panas yang baru saja aku pesan, tak lama berselang Reza datang.
  "Sorry udah lama nunggu ya?." Kata Reza sembari duduk dihadapanku setelah melepas helm-nya.
  "Ah ga kok, aku juga belum lama," jawabku agak gugup.
Kulihat wajahnya yang berwibawa, wakil ketua OSIS di sekolahku. Dengan rahang tegas, hidungnya yang bangir dan mata coklatnya yang tajam tapi menawan, membuatku tak pernah ingin melepaskan pandanganku darinya. Kulit coklatnya, badannya yang tinggi tegap, wajahnya yang rupawan, pintar dan nilai plusnya sebagai kapten tim basket putra SMA Pelita. Membuat mata para gadis lain juga tak ingin berpaling, bahkan sang ketua OSIS pun tersisihkan olehnya. Aku selaku anggota tim basket putri, bisa betah terus memperhatikannya.

  "Maaf sebelumnya udah minta kamu datang pagi-pagi, apalagi abis ujan begini." Reza membuka pembicaraan.
  "Ah ga apa-apa. Kamu mau pesan apa?," basa-basiku.
  "Ga usah, aku ga lama kok."
  "Ooh."
  "Aku dapet nomer kamu dari pacar kamu, Doni."
  "Pacar??, Doni???," aku terlonjak kaget.
  "Hmmm" jawabnya dengan anggukan.
Pacar?, apa maksudnya?. Tunggu!, ada yang salah disini. Batinku.
  "Kamu kata siapa?," aku yang kaget bertanya padanya.
  "Kata Doni," jawabnya tenang.
Oo ... oh mataku membulat seketika, salah paham yang sangat fatal akibatnya bagiku. Doni, ada apa dengan dia, seenaknya saja bicara. Pikiranku jadi kusut saat itu juga.
  "Aku bukan ...," ucapanku terpotong.
  "Sebenernya aku mau tanya soal Andien, dia kan sahabatmu."
Ada apa ini, dia memintaku bertemu hanya karena masalah Andien. Jangan jangan ..., ah tidak, itu tidak mungkin. Aku bermain dengan pikiranku sendiri.
  "Andien?, kenapa?." Aku mencoba bertanya tenang.
  "Aku harus pindah sekolah secepatnya karena orang tuaku ditugaskan ke kota lain."
Seketika aku mencengkram erat mug yang aku pegang.
  "Sebenernya aku ..., aku udah lama suka sama Andien." Dia mengucapkannya tanpa basa-basi dan tanpa hati didepanku.
Aku meminum Capucinno milikku dengan tergesa-gesa untuk menghilangkan rasa terkejutku. Tapi ...
  "Awww," panas Capucinno yang aku minum menyambar bibir dan lidahku.
  "Kamu kenapa?."
  "Ah ga," jawabku tersenyum getir.
  "Aku mau tahu semua yang disukainya."
Aku ..., aku harus membantu orang yang aku suka untuk mengatakan perasaannya pada orang lain yang disukainya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatku sendiri. Hatiku mendidih rasanya.
  "Terus?" Aku bertanya dengan pandangan kosong.
  "Aku perlu bantuanmu. Masalah diterima ngga-nya sih urusan nanti, yang penting aku bisa ungkapin perasaanku dulu sama dia sebelum pergi. Gimana?"
  "Ohh gitu, boleh kok." Jawabku setengah hati
Aku menyebutkan semua yang disukai Andien. Dari biru warna kesukaannya, melukis hobinya, mawar putih bunga yang disukainya karena melambangkan cinta yang tulus, hingga makanan dan minuman favorite-nya yaitu pasta dan Orange Juice. Aku menahan air mata yang sudah menggenang dipelupuk mataku.
  "Thanks kamu udah mau bantuin aku. Tolong rahasiain ini dari Andien juga, aku mau kasih kejutan buat dia. Aku pergi dulu, thanks ya.".
     Reza pergi terburu-buru dari hadapanku, meninggalkanku yang kini sendiri dengan bibir bergetar dan air mata yang sudah tak kuat lagi aku tahan. Aku menangis pelan disudut cafe pagi itu, seirama dengan cuaca diluar yang kini kembali gerimis.

     Aku pulang dengan langkah kaki gontai, kubiarkan diriku terkena hujan yang semakin lama semakin lebat. Jalan yang aku susuri tak seindah saat aku pergi tadi.
     Aku melemparkan tas yang aku bawa dan menghempaskan tubuhku diranjang kamarku. Mataku menerawang ke langit-langit kamar yang memang sengaja dibuat transparan agar bisa melihat langit diluar yang kini hujan deras. Ku putar ulang semua kisah persahabatanku dengan Andien dan Santy yang sudah terjalin sejak SMP juga masalah Reza tadi. Aku mengingat semua kejadian satu tahun terakhir, saat pertama kali aku mulai menyukai Reza. Selama itu pula aku tak pernah melewatkan ceritaku tentang Reza pada dua sahabatku itu, yah mereka mengetahui jika aku menyukai Reza. Aku menghela nafas berat dan menutup mataku dengan bantal. 

***

     Aku baru terbangun siang harinya, aku segera duduk setelah ingat aku memiliki janji siang ini. Aku lihat handphone ditanganku, ada sebuah pesan masuk. Aku buka pesan itu yang ternyata dari Andien yang isinya, "Amel sorry, gue kayaknya bakalan telat banget buat hangout kita kali ini. Reza telpon gue, katanya ada masalah OSIS ngedadak. Sorry, ntar gue telpon lo."
     Reza?, secepat itukah?. Apa alasan OSIS dapat dibenarkan?. Seorang wakil ketua OSIS menelpon Bendahara OSIS mendadak dihari libur dan disaat hujan seperti ini?. Aku yang terlanjur kesal, melempar handphone-ku ke atas ranjang. Masa bodoh untuk acara hari ini yang harus berantakkan, toh sebenarnya hatiku juga sedang tak karuan.

***

     Aku lihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore, aku mendesah pelan. Ya, hari ini kita bertiga gagal kumpul bersama sebagai bagian rutin dihari minggu. Aku yang emosi mengabaikan semua telpon masuk sore ini, terutama dari Andien. Untuk apa aku harus mendengar ocehannya yang pasti baru saja mendapatkan pernyataan cinta dari Reza, itu tidak mungkin.
     Handphone-ku berdering kembali, dari Reza. Untuk apa aku mengangkatnya?, tak ada gunanya. Tak lama kemudian Santy menghubungiku.
  "Hallo" jawabku
  "Lo dimana sekarang?."
  "Dirumahlah, dimana lagi emang ...." Jawabanku terputus
  "Andien ...."
  "Ada apa sama Andien?." aku kembali malas setelah mendengar nama Andien.
  "Lo ke rumah sakit sekarang, Andien kecelakaan."
  "Aaapa le bilang?." Aku terkejut bukan main.
Aku ambil jaket yang aku gantung, aku segera berlari keluar rumah mencari taksi. Tapi sial, tak ada taksi yang lewat. Aku berlari menuju jalan yang lebih ramai dari kompleks rumahku ditengah hujan sore ini. Masa bodoh, yang penting aku harus cepat sampai. Tak lama aku mendapat taksi, aku memintanya lebih cepat. Aku teringat saat Santy mengatakan ditelpon jika Andien ada di UGD sekarang dan lukanya cukup parah.
     Sesampainya didepan UGD, aku melihat mama dan papa Andien juga Santy dan Reza disana. Aku menghampiri mereka dan menanyakan keadaan Andien, tapi Santy menarikku menjauh dari sana.
  "Andien gimana keadaanya?" Aku khawatir bukan main.
  "Mau lo apa sih Mel?." Santy marah padaku
  "Kenapa ...?." Aku bingung.
  "Apa tadi Andien nelpon lo?."
  "Iya ... terus?."
  "Terus?. Apa lo tau kalo Andien nelpon lo setelah lari dari Reza dan cerita semuanya ke gue juga lo yang ga bisa dihubungin?. Dia ceritain semuanya yang dirasain saat Reza nembak dia dan bilang tau semuanya dari lo ..."
  "Cukup ... cukup." aku tak tahan untuk mendengarnya lagi
  "Cukup apanya Mel?, dia kabur lantaran inget sama lo, inget perasaan lo buat Reza."
Aku membulatkan mata dan meremas tanganku.
  "Dia nelpon lo karna mau jelasin semuanya, tapi lo ga angkat telponnya kan?. Reza bilang, Andien buru-buru nyebrang jalan sambil nelpon. Dan lo tau apa?, dia lari dibawah ujan nyari taksi menuju rumah lo. Tapi dia ketabrak mobil saat itu juga."
  "Aaapaaa?" Bibirku bergetar
  "Gue ga nyangka sama lo, lo bisa ngelakuin hal kayak gini sama Andien. Lo udah ancurin persahabatan kita selama ini. Andien ga sepicik yang lo bayangin kali, kalo pun iya dia suka, dia ga akan pernah mau nerima perasaan Reza karna lo. Persahabatan lebih penting buat kita daripada seorang cowok yang ga jelas asal-usulnya, yang suatu hari nanti bisa putus ditengah jalan. Tapi persahabatan?, persahabatan ga akan pernah putus kalo kita saling percaya. Ga kayak lo!."
     Aku jatuh terduduk dengan baju basah. Aku memukuli dadaku yang rasanya teramat sakit. Bodohnya aku, persahabatan 5 tahun ini tak ada artinya hanya karena seorang lelaki yang baru aku kenal satu tahun belakangan. Santy yang kesal meninggalkanku sendirian dilorong.

     5 jam kemudian Andien sadar, ia ingin bertemu denganku dan Santy. Aku menghampirinya yang masih memakai alat bantu pernapasan, ku genggam tangannya, Andien mengucapkan maaf padaku. Aku menggelengkan kepala, dan bilang semua itu salahku. Salahku tak percaya pada persahabatan kita selama ini, maaf ... maaf, aku memeluknya erat. Aku menagis, kami bertiga berpelukan. Aku ingin memulai lagi persahabatan kita yang telah aku nodai dari awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar