Selasa, 30 Juni 2015

Bintang untuk Bintang

Cerita ini diikut sertakan dalam challange Over The Rain yang diselenggarakan oleh mbak Asri Tahir di Wattpad.

~Sinopsis~

     Dua orang yang sama-sama terluka karena sebuah rasa cinta, dipertemukan kembali oleh takdir yang tak terduga. Takdir yang selama ini dianggap selalu mempermainkan mereka.

     Tentang Bintang yang terluka, yang sedang mencoba membuka lembaran baru dihatinya dan mengukir cinta yang diharapkannya. Juga tetntang Friska, gadis yang terluka karena cinta pertamanya. Cinta yang membuatnya menutup hati dan mencoba menatanya kembali.








     Sepasang anak manusia berdiri dengan tatapan nanar ke pemandangan dihadapan mereka, sebuah masjid. Tidak banyak yang datang memang karena diadakan dengan sangat sederhana, tapi disanalah dua insan manusia yang sebelumnya berpisah dipersatukan kembali, tanpa tekanan dan tanpa paksaan.

     Bulan dan Reza. Sejauh apapun mereka terpisah, seterjal apapun jalan yang telah mereka lalui, pada akhirnya mereka tetap bersama. Karena mereka memang telah ditakdirkan bersama. Tapi tidak dengan dua orang yang sedang terluka ini, sekeras apapun mereka mencoba, pada akhirnya mereka hanyalah sebagai alat penguji dan pengukur kadar cinta dari pasangan pengantin tersebut.

     Bintang menoleh ke samping kanannya, disana berdiri seorang wanita yang tak ia ketahui namanya dengan pandangan yang kosong. 'Teman senasib,' begitulah batin Bintang. Sejenak Bintang berpikir, 'setelah semua usaha yang aku lakukan, tetap saja aku kehilangan orang yang sangat aku cintai, bahkan ini untuk yang kedua kalinya.' Bintang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut. Ia menoleh lagi menatap gadis itu dalam, dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku celananya ia menghampiri gadis itu. Baru saja dua langkah, dilihatnya gadis itu berbalik dan masuk kedalam mobilnya, lalu pergi begitu saja. Bintang yang menyaksikan itu semua tersadar, 'untuk apa aku berlama-lama disini, toh aku sudah tak bisa melakukan apa pun lagi.' Semuanya telah usai, tapi belum dengan hatinya.

-----

     Friska mengambil cuti sementara untuk menenangkan diri. Sebenarnya agak sulit melihat kasus yang sedang ditangani Reza yang cenderung alot untuk dituntaskan dan juga persidangan yang akan segera digelar, tapi Reza berbaik hati memberikannya izin. Reza tahu apa yang sedang dialami Friska, ia harap waktu satu minggu yang diberikannya mampu menyelimuti luka yang dialaminya. Meskipun ia sadar tak akan mungkin bisa secepat itu, tapi untuk sementara, biarkan asistennya itu menenangkan dirinya terlebih dahulu.

-----

     Seorang gadis berjalan dengan langkah lunglai dibawah gelap langit sore itu, tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya. Suara petir yang menyalak pun tak ia pikirkan, wajahnya menengadah, tatapan matanya kosong, pikirannya berkelana jauh entah kemana.

Tes..

     Setetes air hujan jatuh tepat di pipinya yang putih mulus, ia tak bergeming sedikit pun. Ia melanjutkan langkahnya dengan biasa, tak ada niat untuk berlari ditengah hujan yang mulai menderas. Air hujan ini bahkan tak sebanding dengan luka hati yang dirasakannya, jika dengan hujan-hujanan begini ia bisa jatuh sakit dan melupakan sedikit beban dihati dan pikirannya untuk sementara, ia akan dengan senang hati melakukannya terus menerus.

     Bintang yang terjebak macet saat mengendarai mobilnya untuk pulang ke apartemennya, melihat pemandangan yang menakjubkan sore itu. Wanita yang sedang berjalan santai ditengah hujan deras dan suara petir yang menggelegar mengalihkan perhatiannya. 'Ckk, wanita yang aneh.' Sambil memicingkan matanya ia melihat dengan seksama. 'Tapi...tunggu, bukankah ia adalah wanita yang sudah dilihatnya tiga kali?, dan terakhir di depan masjid itu. Wanita sama yang mengejar cinta seorang suami dari orang yang dicintainya. Apa yang dia lakukan?'

     Bunyi klakson membuyarkan lamunan Bintang, ia melajukan mobilnya mengikuti kemana arah wanita itu melangkah. Dilihatnya ia berhenti dan masuk kedalam sebuah cafe, SHINNY DAY CAFE & RESTO. Saat ini rasa penasaran menghilangkan lelah yang begitu menderanya, mobilnya ia parkirkan begitu saja di pinggir jalan dan ikut masuk kedalam cafe itu. Matanya berkeliling, dan menemukan wanita itu di sudut cafe yang menghadap langsung ke jalan raya. Ia mengambil tempat yang cukup jauh darinya.

     Seraya memegang cangkir ~hot chocolate~ nya yang masih mengepul demi menghangatkan tubuhnya yang menggigil, tak ia alihkan sedikitpun pandangannya yang menerawang keluar sana. 'Cinta pertamaku harus kandas bahkan sebelum memulainya,' ia tertawa miris. Bahkan ia berpikir takdir sedang mempermainkannya, memberikan harapan ditengah kesempatan yang nyatanya hanya sebesar lubang jarum.

     Bintang yang merasa tergelitik, tetap memperhatikan wanita itu dari jauh dengan seksama. 'Apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu?, berbeda sekali saat pertama kali dan saat di rumah sakit kami bertemu.' Bintang hanya merasa simpati padanya, tidak lebih. Semua karena ia merasa menjadi orang yang sama-sama terluka dan terpuruk, meski dalam konteks yang berbeda. Bagaimana pun juga, ia adalah orang yang merusak suatu hubungan, sedangkan wanita itu adalah orang yang hadir ditengah kemelut yang terjadi. Setetes air mata jatuh dari mata indah itu segera dihapus oleh sang pemiliknya.

     Bintang yang menyaksikan itu, merasa ada suatu dorongan yang entah dari mana datangnya, membuat ia melangkahkan kaki dan duduk tepat dihadapan wanita itu. Ia berdehem, berusaha mengalihkan perhatian wanita dihadapannya. Tapi nihil, wanita itu tetap bermain di dunianya sendiri. Hanya ada satu cara untuk mengalihkannya. Bintang menarik cangkir yang sedang digenggam wanita itu...dan berhasil, wanita itu menoleh dan mengernyit bingung pada orang dihadapannya yang tak ia kenal sama sekali.

  "Hai, gue Bintang" seraya mengulurkan tangan tapi tak ditanggapinya, yang ada wanita itu kembali menoleh keluar kaca.

  "Lo yang waktu itu di rumah sakit dua minggu lalu kan?, yang bareng...Reza" wanita itu menoleh dengan dua alis mata yang terangkat.

     Jangankan mendapat tanggapan, yang ada Bintang ditinggalkan begitu saja disana. Dengan langkah tergesa Friska keluar setelah membayar minumannya yang belum diminum sama sekali olehnya. 'Apa sih maunya itu orang?, gue kesini buat ngilangin pak Reza dari pikiran gue. Ini, datang-datang malah ngungkit hal yang lagi gue hindari.' Kini Bintang yang terkejut segera menyusulnya, dan melihat wanita itu tengah menaiki taksi. 'Gue kan cuma mau kenalan aja, emangnya ada yang aneh?. Eh gue emang aneh sih, tapi bukannya itu orang biasanya bawa mobil sendiri.' Bintang tersenyum samar seraya mengedikkan bahunya, lalu berbalik menuju mobil dan pulang ke apartemennya.

-----

     Waktu cuti yang dimiliki Friska, ia habiskan hanya dengan melamun. Bagaimana pun juga, saat ini yang ia butuhkan hanya waktu untuk menata hatinya, sepahit apa pun yang terjadi. Ia berusaha keras mengalihkan pikirannya dari Reza, tapi cuma satu yang bisa ia lakukan saat ini. Memasak. Meski tak semahir Bulan, tapi ia biasa melakukan untuk dirinya sendiri. Dari masakan yang gosong, terlalu asin, hasilnya yang jauh dari kata layak makan hingga jarinya yang teriris pisau, semuanya berakhir mengenaskan. Pada akhirnya Friska menangis pilu, bukan karena itu semua, tapi terlebih untuk meluapkan rasa sesak di dadanya.

     Bintang yang kini berada di SHINNY DAY CAFE & RESTO, duduk melamun seorang diri. Sejak hari itu, ia tak pernah bertemu kembali dengan wanita itu. Setiap ada kesempatan ia bertemu dengan klien, ia usahakan agar bisa bertemu di tempat ini. Bahkan saat pulang kerja, ia selalu menyempatkan diri untuk sekedar duduk dan minum kopi kesukaannya disini. Berharap jika rasa penasarannya dapat terungkap.

-----

     Friska melangkahkan kakinya masuk ke kantor yang selama ini mempekerjakannya. Dengan senyum menawan, ia menyapa rekan-rekan yang ditemuinya. Berusaha bersikap ceria seperti biasanya, meski sulit sekali. Bahkan saat bertemu Reza sekali pun, seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Tapi satu yang tidak mereka semua ketahui, Friska kini sedang memakai topeng. Ini satu-satunya cara ia bertahan, demi melihat orang yang ia cintai setiap harinya. Bodoh, walau ia tahu semua itu hanya semakin membuatnya terluka lebih dalam lagi. Tapi ia juga ingin membuktikan, jika ia masih bisa bertahan dan menyembuhkan lukanya.

     Siang ini Bintang sedang menemui klien perusahaan di SHINNY DAY CAFE & RESTO, seorang wanita muda dan mempesona duduk dihadapannya dengan menggoda. Tapi baginya itu biasa saja. Dilubuk hatinya yang terdalam masih ada wanita itu, wanita yang sejak lama ia cintai. Bulan. 'Ahh... Susah sekali melupakannya,' ia selalu merasa jika Bulan dan Bintang itu selalu ditakdirkan bersama dan tak terpisahkan. Tapi sekuat tenaga pula ia berusaha menghapus jejak dan akar-akarnya disana, dihatinya. Sebuah bunyi lonceng di pintu masuk mengalihkan perhatiannya, wanita itu, wanita yang sama yang ia temui beberapa minggu lalu saat hujan sore hari. Masuk bersama beberapa rekan kerja wanita dan duduk tak jauh darinya. Meski tak begitu jelas, tapi sayup-sayup obrolan mereka masih terdengar. Bintang masih memperhatikannya, wanita itu tersenyum dan tertawa renyah ditengah obrolan yang hangat siang ini. Sekuat apa wanita itu menyembunyikannya, Bintang tahu dan mampu melihatnya. Mata indahnya itu terasa hampa dan terluka, bahkan dia lebih banyak diam.

  "Fris... Friska, kamu kenapa sih? Dari tadi kok diem aja" tanya salah satu rekan Friska, Anya. Tapi Friska hanya menggelengkan kepalanya malas.

'Ooh, jadi Friska namanya.'

  "Oh iya, kemaren kamu cuti ngapain aja?" Tanya rekan Friska lainnya, Bella

  "Mau tau aja, apa mau tau banget?" Jawab Friska menghilangkan ketegangan yang ada, mereka kembali tertawa renyah. Bintang hanya tersenyum melihatnya

'Manis... Isshh apa sih yang gue pikirin.' Bintang menggelengkan kepalanya.

     Bintang masih membicarakan hal penting dengan kliennya, tapi sesekali Bintang masih melirikkan matanya ke arah Friska.

-----

     Kini, tak jarang Bintang lebih sering makan siang di cafe ini yang membutuhkan waktu 15 menit dari kantornya berada. Bintang juga heran dengan dirinya sendiri, ia hanya merasa memiliki nasib yang sama dan hati yang terluka. Jika dulu ia sebagai pria nekat merebut Bulan yang telah berkeluarga, tapi hal nekat apa yang mungkin dilakukan oleh seorang wanita? Merebut kembali? Tidak mungkin. Jika dulu mereka goyah karena tak ada cinta dari salah satunya, tidak dengan sekarang. Mereka bahkan sudah sangat saling mencintai. Bahkan, siang dan sore yang dulu Bintang benci, karena diwaktu luang tersebut ia akan memikirkan Bulan kembali. Tidak dengan kini, siang dan sore menjadi waktu yang ditunggu untuk menuntaskan rasa penasarannya.

     Mereka bahkan sering berpapasan, walau hanya Bintang yang sering menyadarinya, karena Friska lebih banyak menunduk atau pandangan lurus ke depan tapi pikirannya tidak sedang bersamanya. Kadang Friska makan siang sendiri, sama seperti saat sore hari ketika ia sedang melamun. Tak banyak ekspresi yang dapat Bintang baca, hanya wajah dengan raut sedih, kecewa, terluka, hampa dan rasa tak memiliki siapa-siapa yang dimiliki gadis itu. Entah kenapa ia merasa ingin melindungi dan menjaganya, membuatnya kembali ceria dan tersenyum sempurna, membuat mata indahnya itu bercahaya.

     Minuman favorit Friska bahkan sudah dihapal oleh Bintang, ~hot chocolate~ dan ~capucinno ice~. ~Hot chocolate~ untuk menghangatkan hati dan ~capucinno ice~ untuk mendinginkan pikiran, begitulah pikir Bintang.

     Tak ada yang berubah dan aneh dari tiga bulan pantauannya ini. Hingga suatu hari datang seorang pria paruh baya menghampiri Friska. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Bintang melihat Friska begitu emosi pada pria itu dan meninggalkannya begitu saja. Tak hanya sekali, beberapa hari kemudian Bintang melihat pria paruh baya itu sedang berbicara dengan Friska sekeluarnya gadis itu dari cafe. Bintang hanya diam melihat dikejauhan, hingga sebuah tamparan mendarat dipipi mulus Friska yang mengagetkannya. Bintang berlari menghampiri mereka dan memegang kedua bahu Friska yang sedang menutupi pipinya yang baru saja ditampar.

  "Siapa anda? Jangan berani-beraninya ikut campur urusan orang lain" bentak pria itu

  "Maaf, tapi saya kekasihnya. Jadi saya berhak tahu apa yang terjadi dan melindunginya" jawab Bintang tegas yang membuat wajah Friska yang menunduk menengadah ke arahnya dan kedua bola matanya membulat sempurna.

  "Permisi" Bintang beranjak pergi masih dengan kedua tangannya yang menyentuh bahu Friska dan menuntunnya menuju mobil miliknya dan berlalu dari sana.

-----

    Sepanjang perjalanan itu hanya kesunyian yang mendera, Friska lebih sibuk memperhatikan hiruk pikuk pemandangan di luar jendela, dan Bintang yang sesekali memperhatikan gadis itu.
Bintang yang bingung akan kemana, menanyakan pada Friska, karena sangat tidak mungkin membawa seorang wanita kedalam apartemennya.

  "Rumah kamu dimana Fris?"

  "Hm, tolong turunkan saya di pertigaan jalan sana" tunjuk Friska ke depan

  "Aku tanya rumah kamu, bukan mau turun dimana" Bintang mempertegas pertanyaannya

  "Iya, tolong turunkan saja saya disana" Friska yang masih teguh dengan jawabannya membuat Bintang mendesah kecewa. Ia hanya ingin mengantarkannya dengan selamat, itu saja.

     Friska yang kembali melamun tak menyadari jika pertigaan yang ditunjuknya sudah terlewat jauh. Bintang ingin membawa Friska ke suatu tempat yang mungkin bisa menghiburnya.

  "Ayo turun"

  "Hah... Dimana ini?" Friska terkejut melihat sekitarnya, sebuah bukit.

  "Untuk apa kesini? Bukankah saya bilang tolong turunkan saya di pertigaan jalan?" Friska tetap tak menyerah dengan pendiriannya.

  "Duduklah" perintah Bintang seraya menarik Friska untuk duduk disebuah bangku taman berwarna putih di bawah pohon Akasia yang menghadap ke arak kota Jakarta yang langitnya mulai senja dan bangunanya terlihat sangat kecil dari sini. Friska menurut, ia duduk dan diam tak ada suara.

  "Tolong tunggu sebentar dan jangan kemana-mana" pinta Bintang sekali lagi, Friska hanya mengangguk lemah dan dengan tatapan sendunya memandangi kota Jakarta yang sebentar lagi gulap gulita.

     Bintang berlari ke arah kanannya dan menghilang dibelokan jalan yang menurun. 10 menit berlalu dan Bintang baru kembali, kemudian duduk disisi kirinya. Ia membungkus sesuatu dan menempelkannya pada pipi kiri Friska yang memerah. Friska yang terkejut menjerit pelan, menahan rasa sakit dan panas bekas tamparan yang terkena dinginnya es. Bintang sedang mengompresnya.

  "Biar saya saja" Friska berusaha merebut es batu yang dibalut handuk itu dari genggaman Bintang. Awalnya Bintang menolak, tapi melihat wajah melas Friska, ia memberikannya.

  "Terimakasih" Friska tersenyum tipis yang dibalas dengan anggukan dan senyum lembut Bintang. Friska kembali menatap pemandangan dihadapannya, sang mentari sedang melambaikan tangannya untuk hari ini yang terasa sangat berat untuknya di ufuk barat sana.

  "Sudah lebih baik?"

  "Ya, terimakasih"

Hening

  "Mengapa anda begitu bermurah hati kepada saya yang tak anda kenal sekalipun?"

  "Apa menolong seseorang itu butuh alasan? Lagi pula aku kenal kamu kok ... Friska" jawaban itu membuat Friska menoleh.

  "Anda tahu nama saya, dari mana?"

  "Iya...apa tidak boleh?" Jawab Bintang sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tanda ia sedang gugup. Friska hanya menggeleng lemah.

  "Ternyata masih ada yang ingat dengan saya" ujar Friska lirih

Bintang terdiam

  "Aku Bintang, apa kamu ingat aku?" Tangan kanan Bintang terulur, sedangkan telunjuk tangan kirinya menunjuk wajah Bintang yang sedang tersenyum tipis. Membuat Friska menoleh dan menelisik lebih jauh, membuatnya mengingat-ingat.

  "Rumah sakit? Di depan ICU? 4 bulan lalu? Masih tidak ingat?" Bintang meringis pelan, malu jika sampai Friska lupa.

  ".....ooh, selingkuhannya mba Bulan?" Friska terkejut dengan jawabannya sendiri, membuat ia menutup mulut dan mau tak mau menundukkan wajahnya.

  "Ma...af" lanjutnya lagi

  "Tak apa, kamu memang tidak salah. Terkadang sesuatu yang buruk lebih mudah diingat bukan?" Bintang tersenyum miris, Friska mengangguk lemah.

Hening

  "Rumah kamu dimana? Biar aku antarkan, sebentar lagi malam"

  "Tidak usah, terimakasih sudah menolong saya, saya tidak ingin merepotkan anda lagi. Jika bisa, tolong antarkan saja saya ke cafe tadi, saya tidak ingin mempunyai hutang dengan orang yang baru saja saya kenal"

  "Aku tak merasa direpotkan, hutang? Apa menolong orang dengan tulus juga disebut hutang?"

  "Tapi maaf, menurut saya itu tetap saja hutang."

  " Hutang? Baiklah, kamu punya sebuah hutang kepada ku. Bisa aku memintanya sekarang?" Friska berpikir sejenak

  "Tenang saja, bukan bayaran yang sulit, bahkan mudah sekali? Hem?" Friska mengangguk

  "Baiklah, apa yang bisa saya bayar untuk hutang saya kepada anda?" Bintang terkekeh pelan

  "Ok, mudah ko. Maukah kamu menjadi temanku? Tidak sulit bukan?"

  "Teman?"

  "Iya teman, kamu keberatan berteman dengan saya?" Friska terdiam

  "Apa karena aku sudah melakukan sebuah kesalahan dan dosa besar?" Jawab Bintang lemah sambil menerawang

  "Bu..bu..bukan, bukan begitu. Hanya saja..."

  "Nah baiklah, itu sudah cukup. Sekarang kita berteman" Bintang tersenyum hangat dan menjabat tangan kanan Friska

  "Bintang Lazuardi, senang berkenalan dengan anda"

  "Friska, senang juga berkenalan dengan anda" Friska menjawab kikuk

  "Oh iya, satu lagi. Bisa kan panggilannya tidak usah pakai saya-anda lagi, terlalu formal. Pakai aku-kamu saja, atau panggil langsung saja Bintang, ok?"

  "Oh...baiklah... Bintang"

  "Nah itu lebih enak didengar. Ayo, sebentar lagi malam"

     Mereka jalan beriringan memecah keheningan malam yang sebentar lagi akan menggantung sempurna diatas sana. Membelah kesunyian hanya dengan sebuah tali, pertemanan.

-----

     Sejak saat itu mereka jadi lebih sering bertemu, lebih mengenal satu sama lain. Pertemanan yang semakin erat, yang saling melengkapi satu sama lain. Tapi belum ada diantara keduanya yang berniat untuk membuka luka lama. Semua masih terasa sulit dan berat, terlalu takut untuk menghadapinya.


     Hingga disuatu sore berbulan-bulan kemudian, saat hujan lebat mengguyur Jakarta, meluncurlah pertanyaan itu dari bibir manis Friska.

  "Bintang, waktu itu apa yang membuat kamu nekat untuk merebut kembali mbak Bulan dari sisi pak Reza dan juga Bumi?" Bintang menelan ludahnya sesaat

  "Kamu yakin mau mendengarnya?" Friska mengangguk

  "Baiklah. Sebenarnya kami adalah sepasang sahabat, jauh saat dulu kami masih sekolah. Aku kembali setelah beberapa tahun pergi dengan tiba-tiba dan tanpa pesan meninggalkan Bulan begitu saja. Aku baru tahu jika Bulan sudah menikah dan memiliki seorang anak, yang ada dipikiranku saat itu setelah tahu jika Bulan pun memiliki perasaan yang sama adalah aku akan melakukan apapun untuk memperjuangkan cintaku padanya, terlepas jika aku harus menjadi ayah Bumi. Aku siap, sangat siap. Karena dalam diri Bumi terdapat bagian Bulan. Aku mencintainya, sangat sangat mencintainya. Hingga aku kehilangan akal sehatku, aku pikir jika Bulan mengandung anakku, aku akan bisa memiliki Bulan seutuhnya. Tapi aku salah, itu malah memunculkan rasa cinta Bulan pada Reza yang tertutupi dan tak disadarinya selama ini. Wajar saja jika rasa itu ada, mereka bersama bukan sebulan dua bulan, mereka sudah lima tahun bersama. Saat itu keegoisanku sangat besar, begitu berani melakukan itu semua yang malah membuat Bulan sangat tersiksa. Harus dipisahkan dengan anak yang dilahirkan dan dicintainya, kehilangan suami yang benar-benar sempurna dan mencintainya, juga mengandung saat beban pikiran menggunung. Hingga aku melihat dia terbaring lemah tak sadarkan diri di ICU sebelum melahirkan anak keduanya, rasanya saat itu dunia seakan mau berhenti. Melihat orang yang dicintai berjuang antara hidup dan mati, aku ga sanggup. Percuma jika karena cintaku akhirnya dia tiada, yang kehilangan dia bukan aku saja. Tapi juga Bumi, Rayya dan juga Reza. Biarlah, dengan begini hanya aku saja yang terluka, meski semuanya sudah sangat terlambat." Friska menutup mulutnya tak percaya

  "Kamu juga tahu jika persahabatan dengan lawan jenis itu tak pernah ada murni? Pada akhirnya semua melibatkan hati. Tapi semuanya sudah berlalu, aku mencoba ikhlas merelakan semuanya. Dari sana aku mengerti jika cinta itu tak bisa dipaksakan dan tak -selalu- bisa saling memiliki." Friska mengelus pelan tangan Bintang

  "Kalo kamu Fris?" Tanya Bintang, Friska menerawang jauh ke awal pertemuannya dengan Reza

  "Awalnya aku hanya sebatas kagum padanya, tanpa tahu jika dia sudah menikah. Orang yang sangat kompeten dalam pekerjaannya, perlahan rasa itu tumbuh. Rasa ingin disayangi, dicintai, dimengerti, rasa yang sudah lama sekali tak pernah aku rasakan. Hingga aku tahu jika dia telah menikah, tapi tak lama setelah itu aku mendengar ia bercerai, yang lebih mengejutkan ternyata mereka memiliki seorang anak, yaitu Bumi. Aku merasa kasihan padanya, melihat dirinya seperti melihat cerminan diriku dimasa lalu. Aku ingin ia tak merasakan apa yang aku rasakan, betapa terlukanya menjadi korban atas keegoisan kedua orang tuanya. Kehilangan kasih sayang dan merasa dicampakkan."

  "Udah Fris, ga usah dipaksain" Bintang mengelus bahu Friska, menghapus air matanya dan menyenderkan kepala Friska dibahunya.

  "Ga apa-apa Bintang, aku pengen nyoba melepas semua beban ini. Berat sekali rasanya, aku pengen berbagi sama kamu, berharap setidaknya terasa lebih ringan dipikulnya." Bintang masih terus memeluk Friska dan mengelus rambutnya, mencoba menenangkannya yang sedang menangis pilu.

  "Kamu tau Bintang, pertama kita bisa dekat seperti ini. Saat itu kamu menolongku yang ditampar oleh seorang pria? Hem" Bintang mengangguk

  "Itu ayahku" Bintang terkejut mendengarnya, bisa-bisanya ada seorang ayah yang tega menampar anaknya sendiri

  "Setelah sekian lama meninggalkan aku, ia datang untuk meminta tolong yang menurutku sangat tidak masuk di akal. Kamu tahu itu apa? Dia meminta aku untuk menikah dengan anak salah satu rekan bisnisnya." Bintang yang mendengarnya menegang dan kaku

  "Tentu saja aku menolaknya Bintang." Friska terkekeh pelan

  "Terlepas dari siapapun orang itu, aku akan tetap menolaknya. Ternyata dia adalah Airlangga Abimanyu, anak dari Setya Abimanyu pemilik perusahaan tempat kamu bekerja" sangat terkejut Bintang mendengarnya

  "Aku bilang, selama ini ayah kemana? Meninggalkan aku setelah sekian lama berpisah dengan ibu, sekarang ayah datang memaksaku untuk menikah dengan orang yang ayah bangga-banggakan hanya demi kepentingan bisnis ayah semata. Saat itulah ayah menampar pipiku karena membantah titahnya." Bintang menghela napas berat

  "Tapi sekarang aku bersyukur, karena tamparan ayah saat itu membuatku memiliki seorang sahabat sepertimu. Sahabat yang baik dan mengerti aku, yang mau menerima aku apa adanya" Friska menghapus air matanya dan kembali duduk tegak, tapi Bintang membalikan badannya sehingga kini mereka berhadapan.

  "Kamu tahu..." Bintang menghapus sisa-sisa air mata dipipi Friska dan menyelipkan beberapa surai rambut yang menghalangi wajahnya yang cantik ke telinganya.

  "Sebenarnya yang sangat beruntung bisa bersahabat dengan kamu itu aku. Kamu mau bersahabat denganku setelah perbuatan tercela ya..." Friska menutup bibir Bintang dengan telunjuknya seraya menggeleng pelan.

  "Ga ada yang perlu diungkit-ungkit lagi. Apa kamu sadar? Berawal dari sanalah kita bisa seperti sekarang ini. Kamu yang begitu perhatian padaku, memberikan perhatian lebih pada seorang gadis yang sedang terpuruk, padahal saat itu kamu pun merasakan hal yang sama." Friska tersenyum manis sekali, Bintang yang merasa tersentuh sekali mendengarnya memeluk Friska erat, sangat erat seperti tak ingin melepaskannya lagi.

  "Bintang...Bin..tang" Friska menepuk-nepuk punggung Bintang

  "Hmm, kenapa Fris?"

  "I..ni..ter..la..lu..ken...cang..Bi...in..tang"

 "Oops...sorry" Bintang melepaskan pelukannya dan terkekeh pelan yang dihadiahi tinjuan kecil dilengan atasnya oleh Friska yang ikut tertawa pelan

'Friska... Friska, kamu itu baik, apalagi kalau tersenyum seperti ini, manis sekali. Semoga kamu bisa terus seperti ini, terus tersenyum. Semoga kamu tak terbebani jika suatu saat ada rasa lain yang tumbuh dalam hubungan persahabatan kita ini. Aku tidak ingin melihat air mata wanita yang aku sayangi jatuh, terlebih jika itu karena aku. Oh Tuhan... Aku benar-benar ingin melindunginya, benar-benar ingin.' Bintang menggeleng pelan dan mengelus rambut Friska yang berada dihadapannya

  "Oh iya Bintang"

  "Hmm"

  "Apa Sabtu nanti kamu ada acara? Sebenarnya...sebenarnya" Friska tiba-tiba gugup

  "Sebenarnya kenapa Fris?" Seru Bintang penasaran

  "Hari Sabtu, Rayya anaknya Reza ulang tahun yang pertama. Mereka akan merayakan di rumahnya sendiri, semua rekan kantor diundangnya. Mungkin Reza ingin menebus kejadian yang hampir dua tahun lalu, karena mengabaikannya. Aku sendiri sebenarnya ingin datang, tapi aku tak ada teman. Apakah kamu mau menemaniku?" Bintang tahu hal itu, tapi ia tak mungkin datang mengingat janji yang telah diucapkannya dulu. Ia tak ingin merusak kebahagiaan mereka yang baru terbentuk kembali, meski sebenarnya perasaan Bintang pada Bulan tak sebesar dulu. Sebenarnya, pada hari itu Bintang ingin mengajak Friska datang ke acara pembukaan cafe yang dimiliki teman Bintang malam harinya.

  "Maaf, Fris..."

  "Apa kamu masih takut Bintang?"

  "Bukan..bukan seperti itu. Sebenarnya hari Sabtu nanti aku juga ingin mengajakmu pergi"

  "Pergi???"

  "Hmm"

  "Pergi kemana? Mengapa kau mendadak memberitahukannya?"

  "Maaf, sebenarnya aku hanya ingin memberikan kejutan saja. Sabtu malam nanti, salah satu sahabatku baru membuka cafe-nya di daerah Kemang. Aku ingin kamu menemaniku kesana, sekalian aku ingin memperkenalkan kamu pada mereka"

  "Ya ampun Bintang, hal sepenting itu kamu tidak memberi tahuku? Pake acara kejutan-kejutan segala." Friska mencubit perut Bintang kesal

  "Aww... Fris, sakit. Cubitanmu itu seperti digigit semut raksasa tahu. Bagaimana, bisa tidak?" Suara Bintang terdengar memelas

  "Hmm...hmm, baiklah. Aku sore udah sampe rumah kok, kamu jemput jam berapa?"

  "Jam tujuh-an deh, bisa kan? Ga usah pake dandan-dandan segala, nanti yang ada temen-temen aku terpesona sama kamu lagi" goda Bintang membuat pipi Friska bersemu merah

  "Ah Bintang, kamu itu gombal ya" Friska menutupi pipinya yang sudah seperti tomat

  "Iya aku bisa, lagian wajar kan kalo aku dandan. Aku kan perempuan, emangnya kamu ga mau punya temen cantik, maunya yang jelek aja gitu"

  "Bukan gitu, rasanya sayang kan" Bintang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal

  "Sayang gimana, ya udah nanti aku pake kostum badut aja, biar kamu malu sekalian"

  "Ya ga gitu juga kali Fris, sayang kan kalo muka kamu yang manis itu dibagi-bagi ketemen aku, nanti yang ada mereka diabetes lagi. Mending buat aku aja yahh?" Goda Bintang lagi. Kali ini Friska mencubit-cubit Bintang lebih keras lagi

  "Aaw... Aww..aw sakit Friska"

  "Ya udah, kita balik aja"

-----

     Friska sudah rapi sejak setengah jam yang lalu. 'Tapi kemana Bintang, dia bilang jangan ngaret, sekarang... Dia kan yang ngaret juga.' Suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. 'Nah, tuh dia orangnya.' Friska berdecak kesal pada Bintang yang menghampirinya sambil meringis.

  "Kamu kemana aja sih? Bilangnya jam tujuh, sekarang jam berapa?"

  "Iya, maaf...maaf"

  "Kan ga enak sama temen kamunya"

  "Eitss, kalo soal itu gampang. Coba aja kalo dia berani, biar aku pecat jadi temen aku" Bintang membela diri

  "Udah ayo, kalo kayak gini makin lama sampenya" Friska mengingatkannya kembali

     Jalanan saat ini lumayan macet, karena sekarang malam Minggu.

  "Gimana tadi acaranya?"

  "Rame kok, keluarga kecil Reza kelihatan bahagia banget"

  "Syukurlah kalo begitu" Friska mengelus lengan kiri Bintang

     Sampai disana, ternyata cafe & resto tersebut bernama MY STAR. Bintang diberi tempat khusus didepan stage bersama teman-temannya yang lain. Hanya saja mereka tak duduk satu meja bersama, satu meja hanya untuk dua orang, dan itu untuk pasangan atau teman yang dibawa dalam menghadiri acara ini. Setelah mengenalkan Friska pada teman-temannya, mereka duduk dikursi khusus tersebut. Panggung yang tak terlalu tinggi ada didepannya, ada sebuah piano yang dipajang disebelah kiri panggung dan sepasang gitar di sisi lainnya. Dekorasi yang sederhana, dengan lantainya berupa kayu berwarna coklat tua. Tak terlalu mewah tapi terkesan hangat dan terbuka.

     Sebenarnya cafe ini milik Bintang yang bekerja sama dengan Revan, rekan kerjanya. Idenya tercetus setelah Bintang dan Friska bersahabat, ia ingin Friska yang senang berada di cafe, merasa nyaman dengan cafe ini dan tak merasa sendirian lagi. Ia juga ingin agar cafe ini bisa menjadi rumah kedua untuk Friska.

     Acara pembukaan telah dilakukan 15 menit yang lalu, kini mereka sedang menikmati makan malam bersama sambil diiringi alunan lagu dari penyanyi cafe disini. Bintang pamit pada Friska, karena ada telpon penting. Warna lampu yang bersemu orange, membuat tempat ini tak terlalu terang. Hanya saja lampu utama disediakan di atas panggung, untuk penyanyi yang mengiringi mereka.

Cek...cek 123

     Tiba-tiba terdengar suara yang sangat familiar ditelinga Friska, Bintang. Membuat Friska menoleh ke atas panggung, dan terkejut melihat Bintang sedang berdiri di atas sana.

  "Selamat malam semuanya, semoga kalian semua menikmati hidangannya malam ini" Bintang tersenyum hangat

  "Saya ingin menyanyikan lagu untuk seseorang disini, seseorang yang tengah menyembuhkan lukanya. Seseorang yang begitu tegar menjalani ini semua, setelah apa yang ia lalui selama ini. Selamat menikmati"

     Suara gitar dipetik oleh Bintang yang duduk di atas panggung, memenuhi ruangan itu. Suara merdunya mulai mengalun indah mengisi malam ini, tapi matanya tak henti-hentinya ia alihkan dari Friska.


When you try your best, but you don't succeed

When you get what you want, but not what you need

When you feel so tired, but you can't sleep

Stuck in reverse


When the tears come streaming down your face

When you lose something you can't replace

When you love someone, but it goes to waste

Could it be worse?


Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you


High up above or down below

When you too in love to let it go

But you never try you will never know

Just what your worth


Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you


Tears stream down your face

When you lose something you cannot replace

Tears stream down on your face

And I..


Tears stream down your face

I promise you I will learn from my mistakes

Tears stream down on your face

And I..


Lights will guide you home

And ignite your bones

And I will try to fix you


     Friska begitu terharu mendengarnya, lagu yang membuatnya menyadari jika Bintang akan selalu menemaninya sampai kapan pun itu.

     Bintang berdiri dari kursinya diiringi tepuk tangan riuh yang menggema di cafe ini. 'Ternyata suaraku ga jelek-jelek banget', ia terkekeh geli. Friska bahkan sampai berdiri dari kursinya untuk memberikan tepuk tangan pada Bintang.

  "Lagu tersebut saya persembahkan untuk MY BELOVED BESTFRIEND FOREVER, Friska"

     Bintang turun dan menghampiri Friska yang menutupi mulutnya dengan kedua tangannya sambil berdiri menangis terharu dihadapannya ini. Tangannya terulur menghapus air mata itu, tapi Friska malah menghempaskannya dan langsung memeluk Bintang erat.

  "Jangan menangis Friska, nanti mereka semua yang disini menjerit histeris melihat wajahmu yang berubah menjadi zombie" Bintang terkekeh geli dengan ucapannya sendiri, Friska malah semakin mengeratkan pelukannya yang dibalas Bintang

  "Kamu jahat"

  "Jahat? Jahat kenapa?" Bintang mengernyit bingung

  "Kamu bikin kejutan buat aku lagi, hiks..hiks" Bintang mengelus rambut dan punggung Friska lembut

  "Tapi kamu suka kan sama lagunya?"

  "Iya, suka bangeeet hiks. Makasih Bintang" Bintang terkekeh pelan disamping telinga Friska


'Aku akan selalu disini Friska, disini. Sama seperti saat ini, saat kau memelukku erat. Aku harap kamu tidak akan pernah terluka lagi. Aku berjanji Friska, aku berjanji akan selalu menjagamu dan melindungimu bintang-ku. Maukah kau menjadi bintangku? Bintang yang selalu setia menerangi sisi tergelapku sekalipun. Entah kapan aku dapat mengatakannya, meski cintaku belum sebesar seperti saat bersama Bulan dulu. Tapi kau tenang saja, saat ini rasa cintaku padamu lebih besar daripada rasa cintaku kepada diriku sendiri. Meski masih ada setitik rasa pada Bulan dihatiku, tapi itu juga tak lebih besar dari rasaku untukmu. Aku akan menjaganya dengan sabar dan penuh kehati-hatian, agar rasa ini tumbuh lebih besar lagi.

Rabu, 18 Maret 2015

Gadis "Jangan Tanya"

Setiap hari gadis itu duduk di depan toko buku yang aku jaga, toko yang baru menerimaku sebulan yang lalu. Di udara se-dingin ini, dengan pakaian tipis lusuhnya dan tak memakai alas kaki. Apa yang membuatnya seperti ini?, hingga kini aku pun tak tahu. Tangannya yang menggigil saling bertautan satu sama lain, bibirnya yang keunguan bergetar, juga rambut coklat sebahunya yang dibiarkan terurai menutupi sebagian wajahnya. Tak ada yang berani mendekatinya ataupun menanyakan keadaannya. Aku bertanya pada anak pemilik toko sebelah, dengan enggan ia menjawab. "Dia seorang pembunuh gila. Ia membunuh kekasihnya 3 bulan lalu, kekasihnya adalah penjaga toko sebelum kau."

Kata : 100
Diikutsertakan untuk #FFRabu di @MondayFF

Senin, 02 Maret 2015

Sady oooh Sady

Diikutkan Dalam Lomba Menulis Cerpen ‘Majo & Sady’



    Rabu pagi ini masih seperti biasanya. Sady yang semalam lembur belum juga terbangun, padahal sekarang sudah pukul tujuh pagi. Majo mana Majo???

    Terdengar suara berisik didapur, Majo sudah mengenakan celemek warna merah kesukaannya sedang membuat omelet dan nasi goreng untuk sarapan pagi mereka. Majo menghidangkan makanan yang sudah dibuatnya, karena terburu-buru ia hanya membuat omurice dan susu. Ia melangkahkan kaki ke kamar.

"YEOBO, YEOBO bangun. Kamu kerja nggak?, lihat tuh udah jam berapa sekarang?"
"Hmmm"
"Aku tunggu dimeja ya"
"Hmmm"

    Majo keluar kamar sambil menggeleng-gelengkan kepala setelah membangunkan Sady, ini sudah menjadi kebiasaan baginya.

    Sady bangun dengan malas-malasan, karena terlambat ia hanya mencuci muka dan menggosok gigi. Sady menghampiri Majo yang sudah menunggunya di meja makan.

"Kamu masak apa YEOBO?"
"Hmm, aku membuat omurice saja pagi ini" jawab Majo sambil menunjuknya dengan dagu
"Apaa!!! Kamu bikin omurice lagi?, udah bosen tau. Senin omurice, kemarin omurice, sekarang juga omurice. Kamu mau bikin wajah aku yang cantik ini bulat seperti telor?"
Majo hanya diam saja mendengar ocehan Sady sambil meneruskan makannya. Sady yang bosan dengan omurice hanya memakan sedikit.
"Kamu cuma makan sedikit YEOBO?"
Sady tak menjawab, ia meminum susu hangat yang disediakan Majo walau hanya dua teguk.
    Majo mengejar Sady yang sudah turun ke ruang depan untuk memakai sepatu dengan membawa segelas susu milik Sady yang belum habis diminum ditangan kanan dan tas kerja Sady ditangan kiri.
"Ini sedikit lagi susunya, kamu minum dulu ya?"
"Gak ah, aku udah terlambat"
Sady mengambil tas kerjanya dari tangan kiri Majo, lalu ia melangkah pergi. Baru beberapa langkah Sady berbalik.
"Ada apa YEOBO?, apa ada yang tertinggal?"
"Kamu hari ini jangan lupa cuci baju, cuci piring, mengepel, lap jendela, ganti seprei di kamar, menguras bak, potong rumput didepan dan cuci mobil. Aku naik taksi hari ini. Aku gak mau tau, pulang kerja semua harus udah beres, kamu harus ngeberesin semua yang kamu lupain kemarin."
Majo hanya diam berdiri tegak. Sady berangkat kerja, tapi baru dua langkah ia sudah berbalik lagi.
"Oh iya satu lagi, kamu harus belanja ke pasar. Aku mau makan kimchi, kimbab, sup tulang sapi, dan iga bakar. Inget! Belanjanya di pasar tradisional jangan di supermarket, mahal.
Kali ini Sady pergi bekerja tanpa berbalik lagi. Majo?, ia diam berdiri ditempatnya sekarang dengan muka melas.

    Majo berbalik masuk ke dalam rumah, ia melihat ruang tv yang berantakan, baju Sady dimana-mana. Ia melangkahkan kaki ke dapur, cucian piring sudah menunggunya, pakaian kotor sudah menggunung. Ia ke kamar, lemari pakaian terbuka, semua isinya tumpah berceceran di lantai dan kasur. Ia menghela napas, lalu menjatuhkan kepalanya kebawah sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

    Kini Majo tengah berdiri didapur setelah mengikat kepalanya.
"Kerja keras Majo, hari ini akan jadi hari yang berat" Majo menyemangati dirinya sendiri.

    Majo memasukkan semua pakaian kotor kedalam mesin cuci, menuangkan detergen lalu menggilingnya. Ia ke dapur, menggulung baju lengan panjangnya, mengumpulkan semua perabotan kotor lalu mencuci piring yang berantakan itu. Setelah beres, ternyata mesin cuci berbunyi, ia akan menjemur baju lebih dulu. Setelah itu ia pergi ke pasar, belanja semua kebutuhan dan keinginan Sady. Sungguh kasihan Majo, kini ia terjebak hujan. Yang diingat bukan keadaannya sekarang yang tak membawa payung, tapi jemuran, jemurannya kehujanan. Sady akan marah, semua bajunya akan berbau tak enak.

    Majo tiba dirumah basah kuyup, jejak kakinya mengotori lantai rumah. Tapi lihat sekarang sudah siang, dan Majo belum memasak. Setelah memasukkan jemuran dan berganti pakaian, Majo kekamar, tak ada waktu untuk melipat pakaian. Ia hanya menjejalkan semua pakaian Sady yang berceceran kedalam lemari, lalu menguncinya.

    Majo kekamar mandi menyikat lantai, menguras bak, dan mengisinya. Majo kembali kedapur untuk memasak kimbab, kimchi, sup tulang sapi dan iga bakar. Semua beres, jika Sady datang ia tinggal menghangatkan sup dan membakar iganya. Tapi lantai belum di pel, ia mengambil pengepel, ember, dan pembersih lantai. Majo bahkan terpeleset, pinggangnya terasa mau potong.
"Apalagi yang belum?" Majo bergumam
"Ah, tinggal memotong rumput, mencuci mobil, mengelap kaca dan mengganti seprei. Oooh ternyata masih banyak" Majo mengeluh
Majo hanya mengganti seprei dan mengelap kaca, badannya sudah tak sanggup lagi. Memotong rumput dan mencuci mobil biar esok ia kerjakan.

    Ia lalu merebahkan badannya di sofa, menyalakan tv sambil menunggu Sady datang. Ia ingat tadi Sady menelpon, Sady bilang akan pulang cepat.

    Sady yang pulang membawa kantong belanja dari sebual mall, ia melihat rumput yang belum dipotong dan mobil belum dicuci.
"Majo belum memotong rumput dan mencuci mobil?, ah mungkin karena hujan." Sady yang sedang merasa bahagia mentoleransinya.
Sady melangkahkan kakinya kedalam rumah, ia melihat tv menyala dan Majo yang tertidur disofa. Sady mematikan tv dan melihat Majo yang kelelahan, ia mendekati Majo dan mengelus kepalanya. Setelah itu ia kekamar karena ingin mandi, ia melemparkan tas kerja dan belanjaannya dikasur, lalu membuka lemari. Sady terbelalak, dan berteriak
"Maajoooooo!!!!!"


* YEOBO : panggilan sayang dalam bahasa korea untuk suami-istri

Sady ooh Sady

Diikutkan Dalam Lomba Menulis Cerpen ‘Majo & Sady’



    Rabu pagi ini masih seperti biasanya, Sady yang semalam lembur belum juga terbangun, padahal sekarang sudah pukul tujuh pagi. Majo mana Majo???

    Terdengar suara berisik didapur, Majo sudah mengenakan celemek warna merah kesukaannya sedang membuat omelet dan nasi goreng untuk sarapan pagi mereka. Majo menghidangkan makanan yang sudah dibuatnya, karena terburu-buru ia hanya membuat omurice dan susu. Ia melangkahkan kaki ke kamar.

"YEOBO, YEOBO bangun. Kamu kerja nggak?, lihat tuh udah jam berapa sekarang?"
"Hmmm"
"Aku tunggu dimeja ya"
"Hmmm"

    Majo keluar kamar sambil menggeleng-gelengkan kepala setelah membangunkan Sady, ini sudah menjadi kebiasaan baginya.

    Sady bangun dengan malas-malasan, karena terlambat ia hanya mencuci muka dan gosok gigi. Sady menghampiri Majo yang sudah menunggunya di meja makan.

"Kamu masak apa YEOBO?"
"Hmm, aku membuat omurice saja pagi ini" jawab Majo sambil menunjuknya dengan dagu
"Apaa!!! Kamu bikin omurice lagi?, udah bosen tau. Senin omurice, kemarin omurice, sekarang juga omurice. Kamu mau bikin wajah aku yang cantik ini bulat seperti telor?"
Majo hanya diam saja mendengar ocehan Sady sambil meneruskan makannya. Sady yang bosan dengan omurice hanya memakan sedikit.
"Kamu cuma makan sedikit YEOBO?"
Sady tak menjawab ditanya seperti itu oleh Majo, ia meminum susu hangat pagi ini yang disediakan Majo walau hanya dua teguk.
    Majo mengejar Sady yang sudah turun ke ruang depan untuk memakai sepatu dengan membawa segelas susu milik Sady yang belum habis diminum ditangan kanan dan tas kerja ditangan kiri.
"Ini sedikit lagi susunya, kamu minum dulu ya?"
"Gak ah, aku udah terlambat"
Sady mengambil tas kerjanya dari tangan kiri Majo, lalu ia melangkah pergi. Baru beberapa langkah Sady berbalik.
"Ada apa YEOBO?, apa ada yang tertinggal?"
"Kamu hari ini jangan lupa cuci baju, cuci piring, mengepel, lap jendela, ganti seprei di kamar, menguras bak, potong rumput didepan dan cuci mobil. Aku naik taksi hari ini. Aku gak mau tau, pulang kerja semua harus udah beres, kamu harus ngeberesin semua yang kamu lupain kemarin."
Majo hanya diam berdiri tegak. Sady berangkat kerja, tapi baru dua langkah ia sudah berbalik lagi.
"Oh iya satu lagi, kamu harus belanja ke pasar. Aku mau makan kimchi, kimbab, sup tulang sapi, dan iga bakar. Inget! Belanjanya di pasar tradisional jangan di supermarket, mahal.
Kali ini Sady pergi bekerja tanpa berbalik lagi. Majo?, ia diam berdiri ditempatnya sekarang dengan muka melas.

    Majo berbalik masuk ke dalam rumah, ia melihat ruang tv yang berantakan, baju Sady dimana-mana. Ia melangkahkan kaki ke dapur, cucian piring sudah menunggunya, pakaian kotor sudah menggunung. Ia ke kamar, lemari pakaian terbuka, semua isinya tumpah berceceran di lantai dan kasur. Ia menghela napas, lalu menjatuhkan kepalanya kebawah sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

    Kini Majo tengah berdiri didapur setelah mengikat kepalanya.
"Kerja keras Majo, hari ini akan jadi hari yang berat" Majo menyemangati dirinya sendiri.

    Majo memasukkan semua pakaian kotor kedalam mesin cuci, menuangkan detergen lalu menggilingnya. Ia ke dapur, menggulung baju lengan panjangnya, mengumpulkan semua perabotan kotor lalu mencuci piring yang berantakan itu. Setelah beres, ternyata mesin cuci berbunyi, ia akan menjemur baju lebih dulu. Setelah itu ia pergi ke pasar, belanja semua kebutuhan dan keinginan Sady. Sungguh kasihan Majo, kini ia terjebak hujan. Yang diingat bukan keadaannya sekarang yang tak membawa payung, tapi jemuran, jemurannya kehujanan. Sady akan marah, semua bajunya akan berbau tak enak.

    Majo tiba dirumah basah kuyup, jejak kakinya mengotori lantai rumah. Tapi lihat sekarang sudah siang, dan Majo belum memasak. Setelah memasukkan jemuran dan berganti pakaian, Majo kekamar, tak ada waktu untuk melipat pakaian. Ia hanya menjejalkan semua pakaian Sady yang berceceran kedalam lemari, lalu menguncinya.

    Majo kekamar mandi menyikat lantai, menguras bak, dan mengisinya. Majo kembali kedapur untuk memasak kimbab, kimchi, sup tulang sapi dan iga bakar. Semua beres, jika Sady datang ia tinggal menghangatkan sup dan membakar iganya. Tapi lantai belum di pel, ia mengambil pengepel, ember, dan pembersih lantai. Majo bahkan terpeleset, pinggangnya terasa mau potong.
"Apalagi yang belum?" Majo bergumam
"Ah, tinggal memotong rumput, mencuci mobil, mengelap kaca dan mengganti seprei. Oooh ternyata masih banyak" Majo mengeluh
Majo hanya mengganti seprei dan mengelap kaca, badannya sudah tak sanggup lagi. Memotong rumput dan mencuci mobil biar esok ia kerjakan.

    Ia lalu merebahkan badannya di sofa, menyalakan tv sambil menunggu Sady datang. Ia ingat tadi Sady menelpon, Sady bilang akan pulang cepat.

    Sady yang pulang membawa kantong belanja dari sebual mall, ia melihat rumput yang belum dipotong dan mobil belum dicuci.
"Majo belum memotong rumput dan mencuci mobil?, ah mungkin karena hujan." Sady yang sedang merasa bahagia mentoleransinya.
Sady melangkahkan kakinya kedalam rumah, ia melihat tv menyala dan Majo yang tertidur disofa. Sady mematikan tv dan melihat Majo yang kelelahan, ia mendekati Majo dan mengelus kepalanya. Setelah itu ia kekamar karena ingin mandi, ia melemparkan tas kerja dan belanjaannya dikasur, lalu membuka lemari. Sady terbelalak, dan berteriak
"Maajoooooo!!!!!"


* YEOBO : panggilan sayang dalam bahasa korea untuk suami-istri

Minggu, 22 Februari 2015

DISUDUT KOTA KU



Purwakarta, kota yang menurut saya cukup strategis dan sudah pasti tak asing lagi ditelinga orang banyak. Letaknya yang berada di antara kota Bandung dan Jakarta, membuat orang yang melintasi kota ini akan rugi jika tak singgah terlebih dahulu. Tidak hanya tempat wisata, kuliner, dan oleh-oleh semata, tapi ada juga tempat-tempat bersejarah yang masih dijaga kelestariannya. Contohnya saja, Keresidenan kota Purwakarta. Bangunan yang didirikan sekitar tahun 1902 ini meski berarsitektur modern, tapi terlihat jelas jejak-jejak sejarah yang dimilikinya. Tempatnya yang berada di pusat kota Purwakarta, membuat siapa saja dapat mengaksesnya. Bangunan ini berada disebelah selatan dan menghadap Situ Buled. Sekarang Situ Buleud pun sudah berubah wajahnya, air mancur didirikan ditengah Situ Buleud dan diberi nama Air Mancur Taman Sri Baduga. Terdengar kabar jika air mancur ini menjadi yang terbesar di Indonesia. Kalau begitu sudah tidak perlu repot-repot lagi terbang ke Singapura. Belum lagi ada seni kerajinan keramik di Plered yang memang sudah terkenal, untuk tempat wisata dan kuliner lainnya jika saya jabarkan mungkin tak akan cukup sedikit.

Saya sebagai orang yang begitu mengagumi tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah (meski ga semua tempat harus saya datangi), tertarik dalam hal tersebut membuat saya menyadari "Kita ga akan bisa hidup seperti sekarang ini, setelah apa yang dilakukan para pejuang dulu".

Kota saya memang kecil tak seperti kota kebanyakan, meski tak memiliki tempat-tempat menakjubkan seperti pantai ataupun gunung. Itu semua tak membuat saya urung untuk melihatnya, terlebih saya yang sangat menyukai alam. Saya ingat suatu hari begitu melihat para pelancong (karena kebanyakan orang asing) yang sedang bersepeda dengan pakaian lengkap mengelilingi kotaku, rasanya bahagia sekali, karena saya juga penggemar bersepeda.

Hingga suatu hari ketika ayahku mengajak jalan-jalan pagi mengitari desa-desa yang belum pernah ku sambangi dengan bersepeda. Begitu banyak sawah yang membentang luas saat aku bersepeda, belum lagi tanjakan yang terjal saat ku taiki dengan sepeda, lelahnya minta ampun. Tapi semuanya terbayar sudah saat saya berada diatas sana, pemandangan yang menakjubkan. Sela Awi namanya, desa yang masih sangat hijau sekali, bahkan selama disana saya mendengar deru mobil tidak lebih dari dua kali. Memang kebanyakan menggunakan sepeda motor, tapi ada juga orang-orang tua yang masih menggunakan sepeda ontel untuk sekedar mengangkut hasil kebun ataupun hanya rerumputan yang mungkin akan digunakan untuk akan ternak. Desa yang saya lewati itu memiliki sawah yang luas dikedua belah sisinya, ada bukit dibelakangnya dan masih ada sisa-sisa kabut yang menutupinya, bahkan airnya pun masih sangat jernih, berbeda sekali dengan daerah yang aku tinggali.

Udaranya yang masih sejuk bahkan di waktu yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, pantas saja. Saya pun betah berlama-lama diatas sana, belum lagi saat turun jalanan yang tadi di daki dengan sepeda. Rasanya ..., saya bisa menghirup semuanya saat sebelah tangan saya rentangkan.

Tak jauh dari sana, ada desa yang bernama Citalang. Meski tak jauh berbeda, tapi di desa ini sudah banyak dilalui kendaraan bermotor. Hingga saat ayah mengajak saya untuk memasuki salah satu gang, dan menunjukkan sebuah bangunan lama yang ada disana. Bangunan yang sangat terasa kental sekali zaman penjajahan, sebenarnya bangunan ini milik pemerintah dan dijaga kelestariannya. Rumah panggung yang berada ditengah sebidang tanah, dengan dua pilar kayu didepannya, jendela dan pintunya yang tinggi, tapi ke semuanya bersih karena terawat. Saya pikir "Ini satu-satunya cara kita untuk mengenang jasa para pahlawan dalam bentuk nyata."

Ternyata perjalanan belum berakhir, masih ada jalan yang harus kita tempuh untuk kembali ke rumah. Saya sudah melakukan perjalanan ini dua kali, dan keduanya melalui jalur berbeda saat kembali untuk pulang. Salah satu jalurnya bisa untuk singgah ke desa-desa yang lain, dan jalur lainnya menembus ke pusat kota. Setelah itu semua, saya harus kembali ke aktivitas normal lagi. Dengan polusi dimana-mana, dan orang yang 'seenaknya sendiri'.

Jujur saja, dari semua perjalanan yang saya lalui, saya bisa mengambil hikmahnya. Dari itu semua saya bisa merasa dan baru menyadari jika diri saya hidup dengan kaya, banyak rintangan dan jalan berliku yang harus saya lalui sebelum bisa melihat akhirnya yang indah jika dilihat dari ''puncak''. Untuk semua kelestarian alam yang ada, semua itu bisa berubah ke arah mana saja kita mau, sebagaimana kita mau menjaganya atau tidak. Semuanya memang benar seperti kata pepatah, "Kalau bukan kita siapa lagi".



* Cerita ini dibuat untuk mengikuti Couple Giveaway yang diadakan olen Nulis Buku Club IPB.

Rabu, 18 Februari 2015

Friend or Foe ( Giveaway Kalimat Pertama )

     Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Sebelumnya aku ragu untuk mengangkatnya, karena begitu sering aku menerima telepon usil. Lagi pula siapa yang menelepon sepagi ini dihari libur, menyebalkan. Tapi deringannya tak kunjung henti dan itu sangat menggangguku, dengan sangat terpaksa aku mengangkatnya.
  "Hallo."
suara ber-kharisma menggema disebrang sana, suara yang sangat tak asing sekali bagiku.
  "Ha .. lloo ...," jawabku terbata.
Saat kuyakini jika orang itu memang aku kenal.
  "Aku Reza, maaf sebelumnya. Aku dapat nomer kamu dari Doni," jelasnya.
  "Ooh iya, ga apa-apa kok."
Aku senang bukan main, orang yang selama satu tahun ini diam-diam aku sukai menghubungiku.
  "Ada apa ya?," tanyaku gugup.
  "Oh iya, bisa kita ketemuan?, ada yang perlu aku omongin tapi ga bisa ditelpon. Kalo kamu bisa, kita ketemuan di cafe deket sekolah, gimana?"
Hening .....
  "Mel ...?"
  "Ah iyaa, kapan?"
  "Sekarang, bisa?"
  "Bisa, aku kesana sekarang ya"
  "Ok, thanks ya"

Aku tutup telpon itu, aku lihat jam yang baru saja menunjukkan pukul delapan pagi, bahkan mentari pun masih bersembunyi dibalik selimut awan mendung pagi ini. 

***

     Aku yang biasanya berpenampilan seperti anak laki-laki, kini memakai dress selutut warna broken white dengan bunga-bunga kecil warna ungu dan soft pink. Aku mematut diriku dicermin, setelah dirasa cukup, aku pergi ke Shiny Day Cafe didekat sekolah.

     Hujan baru saja reda, ku susuri jalanan pagi itu dengan langkah kaki riang, seolah semua yang aku lewati tersenyum kepadaku. 
"Dunia macam apa ini?." Gumamku seraya menggelengkan kepala.
"Semua berubah, bahkan dunia pun berubah hanya karena cinta." Batinku seraya mempercepat langkah kaki.

     Setibanya disana, aku belum melihat sosok yang tadi memintaku datang. Aku duduk dan meminum Capucinno panas yang baru saja aku pesan, tak lama berselang Reza datang.
  "Sorry udah lama nunggu ya?." Kata Reza sembari duduk dihadapanku setelah melepas helm-nya.
  "Ah ga kok, aku juga belum lama," jawabku agak gugup.
Kulihat wajahnya yang berwibawa, wakil ketua OSIS di sekolahku. Dengan rahang tegas, hidungnya yang bangir dan mata coklatnya yang tajam tapi menawan, membuatku tak pernah ingin melepaskan pandanganku darinya. Kulit coklatnya, badannya yang tinggi tegap, wajahnya yang rupawan, pintar dan nilai plusnya sebagai kapten tim basket putra SMA Pelita. Membuat mata para gadis lain juga tak ingin berpaling, bahkan sang ketua OSIS pun tersisihkan olehnya. Aku selaku anggota tim basket putri, bisa betah terus memperhatikannya.

  "Maaf sebelumnya udah minta kamu datang pagi-pagi, apalagi abis ujan begini." Reza membuka pembicaraan.
  "Ah ga apa-apa. Kamu mau pesan apa?," basa-basiku.
  "Ga usah, aku ga lama kok."
  "Ooh."
  "Aku dapet nomer kamu dari pacar kamu, Doni."
  "Pacar??, Doni???," aku terlonjak kaget.
  "Hmmm" jawabnya dengan anggukan.
Pacar?, apa maksudnya?. Tunggu!, ada yang salah disini. Batinku.
  "Kamu kata siapa?," aku yang kaget bertanya padanya.
  "Kata Doni," jawabnya tenang.
Oo ... oh mataku membulat seketika, salah paham yang sangat fatal akibatnya bagiku. Doni, ada apa dengan dia, seenaknya saja bicara. Pikiranku jadi kusut saat itu juga.
  "Aku bukan ...," ucapanku terpotong.
  "Sebenernya aku mau tanya soal Andien, dia kan sahabatmu."
Ada apa ini, dia memintaku bertemu hanya karena masalah Andien. Jangan jangan ..., ah tidak, itu tidak mungkin. Aku bermain dengan pikiranku sendiri.
  "Andien?, kenapa?." Aku mencoba bertanya tenang.
  "Aku harus pindah sekolah secepatnya karena orang tuaku ditugaskan ke kota lain."
Seketika aku mencengkram erat mug yang aku pegang.
  "Sebenernya aku ..., aku udah lama suka sama Andien." Dia mengucapkannya tanpa basa-basi dan tanpa hati didepanku.
Aku meminum Capucinno milikku dengan tergesa-gesa untuk menghilangkan rasa terkejutku. Tapi ...
  "Awww," panas Capucinno yang aku minum menyambar bibir dan lidahku.
  "Kamu kenapa?."
  "Ah ga," jawabku tersenyum getir.
  "Aku mau tahu semua yang disukainya."
Aku ..., aku harus membantu orang yang aku suka untuk mengatakan perasaannya pada orang lain yang disukainya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabatku sendiri. Hatiku mendidih rasanya.
  "Terus?" Aku bertanya dengan pandangan kosong.
  "Aku perlu bantuanmu. Masalah diterima ngga-nya sih urusan nanti, yang penting aku bisa ungkapin perasaanku dulu sama dia sebelum pergi. Gimana?"
  "Ohh gitu, boleh kok." Jawabku setengah hati
Aku menyebutkan semua yang disukai Andien. Dari biru warna kesukaannya, melukis hobinya, mawar putih bunga yang disukainya karena melambangkan cinta yang tulus, hingga makanan dan minuman favorite-nya yaitu pasta dan Orange Juice. Aku menahan air mata yang sudah menggenang dipelupuk mataku.
  "Thanks kamu udah mau bantuin aku. Tolong rahasiain ini dari Andien juga, aku mau kasih kejutan buat dia. Aku pergi dulu, thanks ya.".
     Reza pergi terburu-buru dari hadapanku, meninggalkanku yang kini sendiri dengan bibir bergetar dan air mata yang sudah tak kuat lagi aku tahan. Aku menangis pelan disudut cafe pagi itu, seirama dengan cuaca diluar yang kini kembali gerimis.

     Aku pulang dengan langkah kaki gontai, kubiarkan diriku terkena hujan yang semakin lama semakin lebat. Jalan yang aku susuri tak seindah saat aku pergi tadi.
     Aku melemparkan tas yang aku bawa dan menghempaskan tubuhku diranjang kamarku. Mataku menerawang ke langit-langit kamar yang memang sengaja dibuat transparan agar bisa melihat langit diluar yang kini hujan deras. Ku putar ulang semua kisah persahabatanku dengan Andien dan Santy yang sudah terjalin sejak SMP juga masalah Reza tadi. Aku mengingat semua kejadian satu tahun terakhir, saat pertama kali aku mulai menyukai Reza. Selama itu pula aku tak pernah melewatkan ceritaku tentang Reza pada dua sahabatku itu, yah mereka mengetahui jika aku menyukai Reza. Aku menghela nafas berat dan menutup mataku dengan bantal. 

***

     Aku baru terbangun siang harinya, aku segera duduk setelah ingat aku memiliki janji siang ini. Aku lihat handphone ditanganku, ada sebuah pesan masuk. Aku buka pesan itu yang ternyata dari Andien yang isinya, "Amel sorry, gue kayaknya bakalan telat banget buat hangout kita kali ini. Reza telpon gue, katanya ada masalah OSIS ngedadak. Sorry, ntar gue telpon lo."
     Reza?, secepat itukah?. Apa alasan OSIS dapat dibenarkan?. Seorang wakil ketua OSIS menelpon Bendahara OSIS mendadak dihari libur dan disaat hujan seperti ini?. Aku yang terlanjur kesal, melempar handphone-ku ke atas ranjang. Masa bodoh untuk acara hari ini yang harus berantakkan, toh sebenarnya hatiku juga sedang tak karuan.

***

     Aku lihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore, aku mendesah pelan. Ya, hari ini kita bertiga gagal kumpul bersama sebagai bagian rutin dihari minggu. Aku yang emosi mengabaikan semua telpon masuk sore ini, terutama dari Andien. Untuk apa aku harus mendengar ocehannya yang pasti baru saja mendapatkan pernyataan cinta dari Reza, itu tidak mungkin.
     Handphone-ku berdering kembali, dari Reza. Untuk apa aku mengangkatnya?, tak ada gunanya. Tak lama kemudian Santy menghubungiku.
  "Hallo" jawabku
  "Lo dimana sekarang?."
  "Dirumahlah, dimana lagi emang ...." Jawabanku terputus
  "Andien ...."
  "Ada apa sama Andien?." aku kembali malas setelah mendengar nama Andien.
  "Lo ke rumah sakit sekarang, Andien kecelakaan."
  "Aaapa le bilang?." Aku terkejut bukan main.
Aku ambil jaket yang aku gantung, aku segera berlari keluar rumah mencari taksi. Tapi sial, tak ada taksi yang lewat. Aku berlari menuju jalan yang lebih ramai dari kompleks rumahku ditengah hujan sore ini. Masa bodoh, yang penting aku harus cepat sampai. Tak lama aku mendapat taksi, aku memintanya lebih cepat. Aku teringat saat Santy mengatakan ditelpon jika Andien ada di UGD sekarang dan lukanya cukup parah.
     Sesampainya didepan UGD, aku melihat mama dan papa Andien juga Santy dan Reza disana. Aku menghampiri mereka dan menanyakan keadaan Andien, tapi Santy menarikku menjauh dari sana.
  "Andien gimana keadaanya?" Aku khawatir bukan main.
  "Mau lo apa sih Mel?." Santy marah padaku
  "Kenapa ...?." Aku bingung.
  "Apa tadi Andien nelpon lo?."
  "Iya ... terus?."
  "Terus?. Apa lo tau kalo Andien nelpon lo setelah lari dari Reza dan cerita semuanya ke gue juga lo yang ga bisa dihubungin?. Dia ceritain semuanya yang dirasain saat Reza nembak dia dan bilang tau semuanya dari lo ..."
  "Cukup ... cukup." aku tak tahan untuk mendengarnya lagi
  "Cukup apanya Mel?, dia kabur lantaran inget sama lo, inget perasaan lo buat Reza."
Aku membulatkan mata dan meremas tanganku.
  "Dia nelpon lo karna mau jelasin semuanya, tapi lo ga angkat telponnya kan?. Reza bilang, Andien buru-buru nyebrang jalan sambil nelpon. Dan lo tau apa?, dia lari dibawah ujan nyari taksi menuju rumah lo. Tapi dia ketabrak mobil saat itu juga."
  "Aaapaaa?" Bibirku bergetar
  "Gue ga nyangka sama lo, lo bisa ngelakuin hal kayak gini sama Andien. Lo udah ancurin persahabatan kita selama ini. Andien ga sepicik yang lo bayangin kali, kalo pun iya dia suka, dia ga akan pernah mau nerima perasaan Reza karna lo. Persahabatan lebih penting buat kita daripada seorang cowok yang ga jelas asal-usulnya, yang suatu hari nanti bisa putus ditengah jalan. Tapi persahabatan?, persahabatan ga akan pernah putus kalo kita saling percaya. Ga kayak lo!."
     Aku jatuh terduduk dengan baju basah. Aku memukuli dadaku yang rasanya teramat sakit. Bodohnya aku, persahabatan 5 tahun ini tak ada artinya hanya karena seorang lelaki yang baru aku kenal satu tahun belakangan. Santy yang kesal meninggalkanku sendirian dilorong.

     5 jam kemudian Andien sadar, ia ingin bertemu denganku dan Santy. Aku menghampirinya yang masih memakai alat bantu pernapasan, ku genggam tangannya, Andien mengucapkan maaf padaku. Aku menggelengkan kepala, dan bilang semua itu salahku. Salahku tak percaya pada persahabatan kita selama ini, maaf ... maaf, aku memeluknya erat. Aku menagis, kami bertiga berpelukan. Aku ingin memulai lagi persahabatan kita yang telah aku nodai dari awal.